ULUMUL HADIS
(Studi dan Pola Pemahaman Hadis
Antara Tekstual dan Kontekstual)
I. Pendahuluan
Sejauh
perbincangan mengenai hal ihwal hadis atau sunnah, pertanyaan seputar
“bagaimana memahami Hadis atau Sunnah” merupakan bagian yang paling
rumit. Lantaran dari pertanyaan ini akan diturunkan jawaban-jawaban yang
mencoba meneropong segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad s.a.w.,
baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya dalam statusnya sebagai Utusan Allah.
Oleh karenanya Imitatio Muhammadi merupakan standar etika dan tingkah
laku, yang darinya setiap individu muslim menjadikan rule of live dalam
bersikap dan menyikapi kehidupan mereka.
Adapun
kesanggupan umat muslim meng-imitasi Muhammad adalah perwujudan konsensus
agung. Karena mau tidak mau, bagi kaum muslimin sudah terlanjur menyepakati
perjanjian dengan Allah SWT. Untuk mengimani dan taat kepada-Nya juga pada
rasul-Nya, melalui sebuah pernyataan “Athî`ûllâha warrasûl…” (QS. Âli `Imrân,
3: 32), atau “Athî`ûllâha wa athî`ûrrasûl…” (QS. An-Nisâ’, 4: 59).
Dalam
upaya meneropong segala polah-tingkah Nabi Muhammad s.a.w., barangkali
bagi generasi Islam awal (sahabat) tidak banyak menemui hambatan, sebab mereka
hidup sezaman dengan Beliau. Sehingga bila ada permasalahan yang terkait dengan
agama dan khususnya sosial kemasyarakatan mereka bisa segera merujuk kepada
Rasulullah. Ditambah tingkat kerumitan persoalan dunia yang relatif sederhana,
sehingga problem yang mereka hadapi pun lebih sederhana disbanding dengan zaman
modern saat ini.
Hal
yang relatif sama, terjadi pada generasi Tabi’in. Dimana mereka hidup tak jauh
dari zaman Nabi, lagi pula masih banyak warisan sejarah yang hidup maupun
warisan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah diciptakan oleh
Nabi s.a.w. dan sahabatnya.
Tentu,
hal demikian di atas tak segampang generasi muslim muta`akhirin yang hidup pada
abad modern, dimana gemerlap dunia melahirkan ‘seabrek’ pertanyaan yang
pelik dan rumit. Tidak hanya untuk dicari jawabannya tetapi juga
mengidentifikasinya. Karena kompleksitasnya, banyak hal yang tak tersentuh oleh
wilayah agama yang dalam hal ini adalah Hadis sebagai sumber nilai dan ajaran
kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayân ta`kîd (keterangan penguat), bayan
tafsîr (keterangan penjelas) atau bayân murâd (keterangan yang
dimaksud) al-Quran.
Kondisi
ini benar-benar menantang kaum muslimin. Sehingga sederetan pakar yang
tergabung dalam kelompok modernisme dan kontemporer berusaha memetakan. lebih
tepatnya menghidupkan kembali ruh hadis atau sunnah tersebut melalui
pendekatan-pendekatan mutakhir yang lazimnya disebut aliran kontekstualisme
sebagai perimbangan dan melengkapi nalar tekstualisme.
Kontekstualis
diambil dari kata konteks yang berarti “suatu uraian atau kalimat yang
mendukung atau menambah kejelasan makna, atau situasi yang ada hubungannya
dengan suatu kejadian atau lingkungan sekelilingnya”. Dalam bahasa Arab
digunakan istilah ‘alâqah, qarînah, syiyâq al-kalâm, dan qarâin
al-ahwâl. Sehingga kontekstual dalam hal ini adalah “suatu penjelasan
terhadap hadis-hadis baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun ketetapan
atau segala yang disandarkan pada Nabi berdasarkan situasi dan kondisi ketika
hadis itu ditampilkan”.
Adapun
pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang
dalam memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan
kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani.
Eksesnya, pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final
dan dogmatis.
Kelemahan
mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh yang
terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi
dan kondisi yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak
yang mengambil setting dan latar situasi serta kondisi Arab ketika itu.
Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks masanya. Setidaknya inilah
padangan Syahrur, salah satu icon kontekstualis di abad ini.
II. Latar Belakang Tekstualisasi dan
Kontekstualisasi
Hadis
atau Sunnah dengan sifatnya yang zanniy al-wurûd, seringkali mendapat
sorotan tajam bahkan sebagai bahan eksperimen “operasi bedah” terhadap
kesucian agama yang pada ujung-ujungnya pengingkaran atas outentisitas hadis
atau Sunnah tersebut. Taruhlah misalnya Ignas Goldziher dan Yoseph Schacht,
yang ‘getol’ menyoroti hadis atau sunnah dan menganggapnya negatif. Mengutip
bahasa Suryadi, bahwa menurut mereka sunnah pada dasarnya merupakan
kesinambungan dari adat istiadat pra-Islam ditambah dengan aktivitas pemikiran
bebas para pakar hukum Islam awal. Sedangkan Hadis, hanyalah produk kreasi kaum
muslimin belakangan, mengingat kondifikasi Hadis baru dilakukan beberapa abad
sepeninggal Rasulullah s.a.w..
Selain
itu, umat Islam sendiri merasa tidak PD (percaya diri) dengan hadis atau
sunnah. Alih-alih mereka berdalil pada alasan yang tak jauh beda. Mereka
berpendapat bahwa al-Quran telah cukup meng-cover segala permasalahan
umat, lagi pula secara eksistensi hadis maupun sunnah masih diragukan
otentisitasnya. Di antara gembong yang mewakili mereka adalah Taufiq Sidqi,
Ahmad Amin dan Ismail Adnan.
Secara
faktual memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan menonjol antara
hadis dan al-Quran. Dari segi redaksi dan penyampaiannya, diyakini bahwa
al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril sekadar penyambung
lidah agar sampai pada Muhammad. Kemudian Muhammad langsung menyampaikan kepada
umatnya dan umatnya langsung menghafal dan menulisnya. Sehingga sepanjang zaman
tidak mengalami perubahan. Bahkan Allah sendiri telah menjamin akan
keotentikannya. Atas dasar inilah, wahyu Allah digolongkankan sebagai Qath’iy
ats-Tsubût.
Sedangkan
hadis, hanya berdasarkan hafalan sahabat dan catatan beberapa sahabat serta
tabi’in. namun demikian profil sahabat dan tabi’in yang dapat dibuktikan
kredibelitasnya dalam soal kejujuran, keteguhan, ketulusan dan upaya selektif
untuk merawat serta meneruskan pada generasi berikutnya dan ditopang kondisi
sosio masyarakat yang kondusif untuk itu, maka setidaknya patutlah hadis atau
sunnah diposisikan sebagai sumber hukum kedua. Dan bahkan menurut penulis,
bahwa tradisi kehidupan Nabi merupakan bentuk pranata Islam yang kongkret dan
hidup sebagai penerjemahan al-Quran.
Adapun
masalah yang mengemuka dari sisi internal diri Muhammad sebagai figur Rasul akhiru
az-zaman adalah bahwa secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku
sepanjang zaman, sementara hadis itu sendiri turun dalam kisaran tempat dan
sosio-kultural yang dijelajahi Rasulullah s.a.w.. Disamping itu tidak semua
hadis secara eksplisit mempunyai asbabu al-wurûd yang menjadikan status
hadis apakah bersifat ‘am atau khash. Sehingga hadis dipahami
secara tekstual maupun kontekstual.
Tak
kalah menariknya yang berkaitan dengan posisi Rasulullah s.a.w. dan fungsinya.
Apakah dia sebagai seorang Nabi, Rasul, kepala pemerintah, hakim, panglima
perang, suami, atau manusia biasa. Keberadaan Rasululullah s.a.w. ini — peran
apa yang sedang beliau mainkan — menjadi acuan untuk memahami hadis secara
tepat dan proporsional. Melaui pendekatan tekstualkah atau kontekstualkah agar
hadis tetap shâlihun likulli zamânin wa makânin.
Secara
lebih kongkret, Hamim Ilyas memaparkan faktor-faktor kontekstualusasi hadis
atau sunnah sebagai berikut:
- jumlah umat muslim yang semakin pesat dan penyebarannya di berbagai wilayah geografis dan geo-politik yang berbeda-beda, berikut permasalahan yang mereka hadapi bisa menjadi spektrum kontekstualisasi hadis atau Sunnah yang lebih luas.
- banyaknya jamaah haji dewasa ini, telah menuntut pemerintah Arab — dalam hal ini yang bertanggung jawab — untuk melakukan kontekstualisasi hadis atau sunnah terutama yang berkaitan dengan mabit bi Mina dan sa’i. selain itu juga masalah mahram, mengingat antara jamaah haji laki-laki dan perempuan susah untuk tidak bercampur. Dan masalah miqat karena kebanyakan para jamaah haji berangkat menggunakan pesawat.
- Takdir geografis bagi muslim yang berada di kutub selatan maupun utara juga menjadi problem. Perbedaan waktu siang dan malam akibat pengaruh posisi matahari menuntut kontekstualisasi hadis atau Sunnah mengenai shalat, masuk bulan puasa dan sahurnya.
- kenyataan bahwa umat muslim tidak lagi sentralistik pada daulah islamiyah, maka konskuensinya mereka harus mengikuti aturan main setiap Negara dimana mereka berada. Apalagi kalau jumlah umat muslim minoritas. Akibatnya konsepsi hadis atau Sunnah harus dikontekstualisasikan sesuai adat budaya setempat. Terutama di negara-negara yang menganut sekularime ekstrim. Sehingga perlu kontekstualisasi hadis atau Sunnah, misalnya yang berkaitan dengan aurat dan kurban.
- dan faktor utama terbukanya kran kontekstualisasi hadis atau Sunnah diabad ini adalah serbuan “Modernisme” dari barat yang menjadi kiblat pembangunan setiap Negara. Tak pelak berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, agama dan kependudukan secara global. Sebagai biasnya muncul segudang teori dan konsep ilmu pengetahuan dunia Barat yang masuk dalam kesadaran umat muslim melalui berbagai transmisi. Taruhlah – misalnya — kelahiran HAM, Demokrasi dan paradigma modern tentang hal ihwal terkait penciptaan manusia, yang menuntut kaum muslim melakukan kontekstualisasi hadis atau Sunnah.
Maka
tepatlah jika Fazlur Rahman mengilustrasikan bahwa “ketika
kekuatan-kekuatan masal baru di bidang sosio ekonomi, kultur, moral dan politik
menyergap suatu masyarakat, maka nasib masyarakat tersebut secara alamiah akan
bergantung pada sejauhmana ia bisa menemukan tantangan baru yang kreatif. Jika
masyarakat tersebut dapat menghindari dua kutub ekstrem yang menggelikan,
yaitu: mundur pada diri sendiri serta mencari perlindungan delusif pada masa
lalu di satu sisi, dan menceburkan diri serta mengikuti idealnya untuk bereaksi
terhadap kekuatan-kekuatan baru tersebut melalui asimilasi, penyerapan,
penolakan dan kreativitas positif yang lain, maka ia akan mengembangkan sebuah
dimensi baru bagi aspirasi-dalamnya, suatu makna dan muatan baru bagi
idealnya”.
III. Dasar-Dasar Tekstualisasi dan
Kontekstualisasi
Ada
beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut M.
Sa’ad Ibrahim alasan-alasan tersebut adalah:
Pertama,
masyarakat yang dihadapi Nabi s.a.w.. bukan lingkungan yang sama sekali kosong
dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran
nas-nas yang menyebabkan sebagiannya bersifat tipikal. Misalnya pranata zihar أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّى (bagiku engkau
bak punggung ibuku) yang ungkapan tersebut hanya berlaku bagi kontek budaya
Arab, jika ditransfer dalam budaya keindonesiaan maka jelas maknanya beda.
Kedua,
dalam keputusan Nabi sendiri telah memberikan gambaran hukum yang berbeda
dengan alasan “situasi dan kondisi”. Misalnya tentang ziarah kubur, yang semula
dilarang karena kekawatiran terjebak pada kekufuran dan setelah dipandang
masyarakat cukup mengerti diperbolehkan.
Ketiga,
peran shabat sebagai pewaris Nabi — yang paling dekat sekaligus memahami dan
menghayati Nabi dengan risalah yang diembannya — telah mencontohkan
kontekstualisasi nash (teks). Misalnya Umar bin al-Khattab pernah
menyatakan bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu
talak menjadi jatuh tiga talak.
Keempat,
implementasi pemahaman terhadap nash (teks) secara tekstual seringkali tidak
sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’etre kehadiran
Islam itu sendiri.
Kelima,
pemahan tekstualis secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum
perubahan dan keanekaragaman yang justeru diintroduksi oleh nash itu sendiri.
Keenam,
pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal
nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas
perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.
Ketujuh,
penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada
upaya pemahaman teks-teks Islam secara kontekstual dibandingkan secara
tekstual. Sebagaimana trade mark Islam الإسلام دين العقل والفكر (Islam itu agama rasional dan intelektual).
Kedelapan,
Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di
mana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan
dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang
maslahat), yang terumuskan dalam kaidah العادة محكمة (tradisi itu dipandang legal).
Kesembilan,
keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang
berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut
memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan
eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
IV. Batas-Batas Tekstualisasi dan
Kontekstualisasi
Secara umum M. Sa’ad Ibrahim
menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: Pertama,
dalam bidang ibadah mahdhoh (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada
penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka
hal tersebut adalah bid`ah. Kedua, bidang di luar ibadah murni.
Kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk
selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik
lamanya.
Menurut Suryadi, batasan-batasan
tekstual (normatif) meliputi:
- ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
- Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
- Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
- Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terleak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada tataran praktisnya.
Adapun batasan-batasan kontekstual
(historis) mencakup:
- menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secara tekstual. Dalam hal ini tidak menuntut seseorang untuk mengikuti secara saklek (apa adanya). Sehingga bila ingin mengikuti Nabi tidak harus berbicara dengan bahasa Arab, memberi nama yang Arabisme, berpakaian Gamis ala Timur Tengah dan sebagainya. Karena semua ini produk budaya yang tentu secara zhahir antara setiap wilayah berbeda.
- Aturan yang menyangkut manusia sebagai mahluk individu dan biologis. Jika rasulullah makan hanya menggunakan tiga jari maka kita tidak harus mengikuti dengan tiga jari, karena kontek yang dimakan rasulullah adalah kurma atau roti. Sedangkan bila kita makan nasi dan sayur asem harus dengan tiga jari betapa malah tidak efektifnya. Ide dasar yang dapat kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini adalah bagaimana makan yang halal baik, tidak berlebihan dan dengan akhlak yang baik pula.
- Aturan yang menyangkut manusia sebagai mahluk sosial. Bagaimana manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar dan binatang adalah wilayah kontekstual. Sebagaimana isyarat hadis antum a’lamu bi umûri dunyâkum. Ide dasar yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum sebagai wujud ketundukan pada Sang Pencipta.
- Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya yang sedemikian komplek. Maka kondisi pada zaman Nabi tidak dapat dijadikan sebagai parameter sosial.
V. Langkah-langkah Kontekstualisasi
Bertolak
dari dasar-dasar dan batasan-batasan kontekstualisasi tersebut di atas maka
langkah-langkah pemahaman kontekstualisasi dapat dilakukan sebagai berikut:
Pertama,
memahami teks-teks Hadis atau Sunnah untuk menemukan dan mengidentifikasi legal
spesifik dan moral ideal dengan cara melihat konteks lingkungan awalnya yaitu;
Makkah, Madinah dan sekitarnya.
Kedua,
memahami lingkungan baru dimana teks-teks akan diaplikasikan, sekaligus
membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan
persamaannya.
Ketiga,
jika ternyata perbedaan-perbedaannya lebih esensial dari persamaan-persamaannya
maka dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks tersebut dengan
konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika
ternyata sebaliknya, maka nas-nas tersebut diaplikasikan dengan tanpa adanya
penyesuaian
Kesimpulan
Hadis
sebagai sumber nilai dan ajaran kedua, sekaligus fungsinya sebagai bayan
ta`kid, bayan tafsir atau bayan murad terhadap al-Quran yang secara redaksi
dikategorikan zhanniy al-wurud, ternyata mengandung berbagai problem di
dalamnya.
Upaya
memahaminya dengan pendekatan tekstualis unsih tidaklah cukup agar
senantiasa berlaku sepanjang zaman, mengingat problem kehidupan dewasa ini
semakin kompleks. Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstualis, yaitu
memahami hadis atau Sunnah dengan mengacu pada latar belangkang, situasi dan
kondisi serta kedudukan Nabi ketika hadis atau Sunnah itu ditampilkan.
Sebagai
akibatnya, terjadi perubahan pemahaman. Perubahan tersebut dapat dikategorikan
menjadi dua hal. Pertama, perubahan dalam arti hadis tersebut ditawaqqufkan
(diabaikan), karena ia hanya bersifat tipikal dan temporal. Kedua,
perubahan dalam arti memberikan interpretasi yang berbeda dengan makna lahir
teksnya.
Daftar Pustaka:
Al-Quran al-Karim dan
Holy Quran.
Danial W. Brown, Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000.
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Hamim Ilyas, “Kontekstualisasi Hadis
dalam Studi Agama”, dalam Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara
Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab Al-Wurud)”, Jurnal Kutub Khazanah no.
02 th. 2, Maret 1999.
Imam Basyari Anwar, Kamus lengkap
Indonesia-Arab, Kediri: Lembaga Pondok Pesantren Al-Basyari, 1987.
Jalaluddin Rahmat, “Dari Sunnah Ke
Hadis, Atau Sebaliknya?, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,
Jakarta: Paramadina, 2000.
Quraish Shihab, M., “Hubungan Hadis
dan Al-Quran”, http:// media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Hadis.html
Suryadi, Rekonstruksi Metodologis
Pemahaman Hadis, Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar