MAHAR
(Maskawin)
BAB 1
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Mahar
termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita
dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang
besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara
ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada
istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai
dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar
merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah,
dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar
lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran yang
tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk terarahnya makalah ini. Maka
masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian
dan Hukum Mahar
2. Syarat-syarat
Mahar
3. Kadar
(jumlah) Mahar
4. Memberi
Mahar Dengan Kontan dan Utang
5. Macam-macam
Mahar
6. Bentuk
Mahar (Maskawin)
7. Gugur/Rusaknya
Mahar
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam
istilah ahli fiqh,disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq”
, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan
perkataan maskawin.[1]
Mahar,
secara etimologi, artinya maskawin.
Secara
terminologi,mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).[2]
Imam
Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[3]
Jika
istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan.Akan
tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak
halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:
وَإِنْ
اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجِ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنْطَارًا
فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْئُا اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا وَاِثْمًا مُبِيْنًا
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu
dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang
sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S
AL-NISA[4]: 20).[4]
Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt.
Berfirman
وَكَيْفَ
تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ اَفْضَى بَعْضُكُمْ اِلَى بَعْضٍ وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيْثَقًا غَلِيِظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat. (Q.S AL-NISA[4]: 21).[5]
Karena
mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai
rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.[6]
Allah
berfirman:
وَأَتُوا
النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.....(Q.S
AL-NISA[4]: 4).
Rasulullah saw. berkata:
عن
عمربن ربيعة ان امراة من بنى فزارة نزوجت على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم :
ارضيت على تفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأجازه جازه (رواه احمد وابن ماجة
واترمذى وصححه )
Dari ‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya
seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal.
Rasulullah saw. berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan
maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR Ahmad bin
Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya lagi:
تزوج
ولو بخاتم من حديد ( رواه البخارى )
“Kawinlah engkau walaupun dengan
maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari)
2. Syarat-syarat Mahar
Mahar
yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
- Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
- Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
- Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
- Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[7]
3. Kadar (Jumlah) Mahar
Agama
tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada
yang hampir tidak mampu memberinya.[8]
Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan
disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk
menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya
ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang
bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن
سهل ابن سعد ان النبى صلى الله عليه وسلم جأته امراة فقال : يارسول الله انى وهبت
تفسى لك. فقامت قياما طويلا. فقام رجل فقال: يارسول لله زوجنيها ان لم يكن لك بها
حجة, فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها اياها ؟ فقال :
ما عندى الا ازارى هذا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان اعطيتها ازارك
جلست لا ازار لك, فلتمس شيئا, فقال : ما اجد شيئا, فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : التمس ولو خاتم من حديد, فلتمس ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : هل معك من القرأن شيئ ؟ فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا, لسوريسميها. فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : قد زوجتكها بما معك من القرأن ( رواه البخارى
ومسلم )
“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah
datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah!
Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita
tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya
Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat
kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu
yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak
memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan
sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu
(yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi
berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi,
tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda:
“adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata:
“Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi
saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar)
Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan
Muslim).[9]
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat
menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian
fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas perak tersebut.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan
empat puluh dirham.
Pangkal
silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:
- Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.[10]
- Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.[11]
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi
Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu
tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya
tentu beliau menjelaskannya.[12]
4.
Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan
diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan
utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian,
berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس عن النبى
صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال : ماعندى شيء,
فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه )
“Dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan
sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya:
Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.”
(HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas
menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik,
dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar
(diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan
ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara
diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya,
tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan
menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya
untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam
Malik.
5.
Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu
ada dua macam, yaitu:
a. Mahar Musamma
Mahar Musamma,
yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad
nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[13]
Ulama fikih sepakat bahwa,dalam
pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1) Telah
bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ
اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً فَلاَ
تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً
Dan
jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun.(QS
AL-NISA[4]: 20) [14]
2) Salah
satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar
musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampurdengan
istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata
istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari
bekas suami lama.[15]
Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengah, berdasarkan firman Allah Swt.:
وَإِن
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika
kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu....(QS AL-Baqarah[2]: 237).
b. Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang
tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima
oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan
status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[16]
Bila terjadi demikian (mahar itu
disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka
mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuanpengantin wanita (bibi, bude),
uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten) , anak, perempuan,
bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli itu beralih dengan ukuran
wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan
sebagai berikut:
1. Apabila
tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika
mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak
ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama
dibolehkan.
Firman
Allah Swt,:
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً
Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.....(QS
AL-Baqarah [2]: 236).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa
seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga
ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.
6.
Bentuk Mahar (Maskawin)
Pada prinsipnya
maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai, dimiliki,
atau dimakan. Ibn Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat
ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda
tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim,
sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran umum, tetapi bersifat
subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon
istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional.
Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.
7. Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak
bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut,
seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya
sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui,
pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok,
yaitu:
a. Barangnya
tidak boleh dimiliki;
b. Mahar
digabungkan dengan jual beli;
c. Penggabungan
mahar dengan pemberian;
d. Cacat
pada mahar; dan
e. Persyaratan
dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti:
khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan
persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh),
baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah
menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
Mengenai penggabungan mahar dengan
jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan
memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin
laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar,
tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka
Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab
dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan
dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat
kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan
pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang
menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat
pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga
pendapat.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya
mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam
Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika
akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila
syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik
ayah.
Mengenai cacat yang terdapat pada
mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad
nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah
harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga
mahar mitsli.
Imam Syafi’i
terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik
dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain
minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika
dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat.
Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa
terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian
sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam,
atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan
tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh
walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak
sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila
istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam
hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiriyang menggugurkannya.
Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya).
Agama tidak menetapkan
jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan
dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan
utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar