Senin, 30 Januari 2012

MAHAR (Maskawin)



 MAHAR
                                                                         (Maskawin)

BAB 1
PENDAHULUAN
                                                                  
  1. Latar Belakang
            Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
            Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

  1. Rumusan Masalah
            Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk terarahnya makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Pengertian dan Hukum Mahar
2.      Syarat-syarat Mahar
3.      Kadar (jumlah) Mahar
4.      Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
5.      Macam-macam Mahar
6.      Bentuk Mahar (Maskawin)
7.      Gugur/Rusaknya Mahar

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian dan Hukum Mahar
            Dalam istilah ahli fiqh,disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq” , nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[1]
            Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).[2]
            Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[3]
            Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat,lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan.Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:

وَإِنْ اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجِ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْئُا اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا وَاِثْمًا مُبِيْنًا

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA[4]: 20).[4]
Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ اَفْضَى بَعْضُكُمْ اِلَى بَعْضٍ وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَقًا غَلِيِظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Q.S AL-NISA[4]: 21).[5]
            Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.[6]
            Allah berfirman:
وَأَتُوا النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.....(Q.S AL-NISA[4]: 4).
Rasulullah saw. berkata:
عن عمربن ربيعة ان امراة من بنى فزارة نزوجت على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم : ارضيت على تفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأجازه جازه (رواه احمد وابن ماجة واترمذى وصححه )
Dari ‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR Ahmad bin Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya lagi:
تزوج ولو بخاتم من حديد ( رواه البخارى )
“Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari)

2. Syarat-syarat Mahar
            Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
  1. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
  2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
  3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
  4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[7]


3. Kadar (Jumlah) Mahar
            Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.[8] Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن سهل ابن سعد ان النبى صلى الله عليه وسلم جأته امراة فقال : يارسول الله انى وهبت تفسى لك. فقامت قياما طويلا. فقام رجل فقال: يارسول لله زوجنيها ان لم يكن لك بها حجة, فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها اياها ؟ فقال : ما عندى الا ازارى هذا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان اعطيتها ازارك جلست لا ازار لك, فلتمس شيئا, فقال : ما اجد شيئا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : التمس ولو خاتم من حديد, فلتمس ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : هل معك من القرأن شيئ ؟ فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا, لسوريسميها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قد زوجتكها بما معك من القرأن ( رواه البخارى ومسلم )

“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).[9]
            Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
            Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
            Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
            Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusydi, terjadi karena dua hal, yaitu:
  1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.[10]
  2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.[11]
            Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[12]

4. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
            Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال : ماعندى شيء, فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه )
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
            Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
            Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar  (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.

5. Macam-macam Mahar
            Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:




a.      Mahar Musamma
         Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[13]
         Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1)      Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun.(QS AL-NISA[4]: 20) [14]
2)      Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[15] Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan firman Allah Swt.:

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu....(QS AL-Baqarah[2]: 237).

b.      Mahar Mitsli (Sepadan)
         Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[16]
         Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuanpengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten) , anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
         Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1.      Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2.      Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
          Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
Firman Allah Swt,:
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
Tidak ada kewajiban membayar  (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.....(QS AL-Baqarah [2]: 236).
          Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.

6. Bentuk Mahar (Maskawin)
          Pada prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai, dimiliki, atau dimakan. Ibn Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran umum, tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional. Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.



7.      Gugur/Rusaknya Mahar
          Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
a.       Barangnya tidak boleh dimiliki;
b.      Mahar digabungkan dengan jual beli;
c.       Penggabungan mahar dengan pemberian;
d.      Cacat pada mahar; dan
e.       Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
          Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
          Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
          Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.
          Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.
          Imam Syafi’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.
          Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
          Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiriyang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.






















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.


                [1] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 81.
                [2] Lihat Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, hlm. 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 84
                [3] Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, hlm. 94
                [4] Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989), hlm. 119
                [5] Ibid.
                [6] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 38
                [7] Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103
                [8] Kamal Muhktar, Op.Cit., hlm. 82
                [9] Ibid, hlm. 83
                [10] H. Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89
                [11] Ibid.
                [12] Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
                [13] M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.
                [14] Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit,. hlm. 119
                [15] Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93
                [16] M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar