Minggu, 29 Januari 2012

TARSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 185


I. Surat al-Baqarah ayat 185.
شَهْرُ الرَّمَضَانَ الذِّى اُنْزِلَ فِيْهِ القُرْأَنُ هُدَى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَتِ مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا اْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلىَ مَا هَدَكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (البقرة:185)
II. Kosa Kata.
Dilihat  dari pemaknaan, puasa dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak delapan kali akan tetapi sekali al-Qur’an menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara. “sesungguhnya aku bernazar puasa (shauman), maka pada hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang pun” QS: Maryam: 26. Demikianlah ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya Isa.a.s., sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik bagi kamu”, dan sekali menunjuk pada pelaku puasa pria dan wanita, yaitu as-shaimin wash-shaimat.[1]
Walaupun kata yang bermakna puasa itu beraneka ragam, kesemua itu terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang segi bahasanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak”. Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum syari’at sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari[2]
kata bayyinat itu sendiri bermakna petunjuk-petunjuk dan hujjah-hujjah yang jelas dan gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembela antara yang hak dan yang bathil serta halal haram.
Sebagian ulama mengartikan kata maridh bearti penyakit apa pun yang diderita seseorang, membolehkannya untuk berbuka.

III. Munasabah Ayat.
            Uraian al-Qur’an tentang puasa ramadhan sebenarnya, bisa ditemukan dalam surah al-Baqarah ayat 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah nabi Muhammad tiba di Madinah.
            Dalam beberapa ayat tersebut bisa dilihat apakah kewajiban itu langsung dijelaskan oleh al-Quran selama sebulan penuh ?. maka agaknya kewajiban berpuasa pun bisa dikatakan demikian, ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu) difahami sementara oleh para ulama selama tiga hari yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. apabila dalam ayat 186 dijelaskan bahwasanya kewajiban itu bukan sepanjang tahun akan tetapi hanya beberapa hari saja, dan boleh bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan tidak berpuasa tetapi menggantinya pada hari lain.
            Selanjutnya disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan ramadhan dan pada ayat ini tidak berbicara pada puasa tetapi pada doa, dan pada ayat 187 membahas tentang ijin dalam melakukan sesuatu di bulan ramadhan disamping penjelasan lamanya puasa yang harus dijalani. Jadi jelaslah hubungan ayat-ayat tersebut untuk saling melengkapi atau menjelaskan ayat-ayat yang lain.

IV. Makna Global Ayat.
            Ayat ini berisikan tentang keistimewaan bulan ramadhan yang dimana pada bulan tersebut diturunkan oleh Allah Al-Qur’an, serta kitab-kitab sebelum al-Qur’an dan  dalam melaksanakan ayat ini juga berisi perintah untuk menjalankan puasa bagi yang melihat hilal berserta keringanan-keringanan yang diberikan oleh Allah untuk hambanya dalam melaksanakan badah puasa.

V. Pembahasan.
شَهْرُ الرَّمَضَانَ الذِّى اُنْزِلَ فِيْهِ القُرْأَنُ
Bulan ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan al-Quran

Allah Swt. memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan yang lainnya, karena Dia telah memilihnya diantara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur’an yang agung, dan juga bulan yang dimana telah diturunkan kitab Allah lainnya kepada para nabi sebelum nabi Muhammad, hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Hambal  yang menceritakan kepada kami Abu Sa’id Maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abdul Awwam dari Qatadah dari Ibnu Falih dari wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulillah Saw. Pernah bersabda:
انزلت صحوف ابرهيم فى اول ليلة من رمضان وانزلت التورة لست مضين من رمضان والإنجيل لثلاث عشرة خلت من رمضان وانزل الله القرأن لأربع وعشرين خلت من رمضان
lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadhan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan

Dan juga diriwayatkan dari hadis Jabir Ibnu Abdullah yang didalamnya disebutkan:
انا الزبور انزل لثنتي عشرة خلت من رمضان والإنجيل لثمانى عشرة
bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.”.[3]

            Sebenarnya sudah jelas mengapa Al-Qur’an di turunkan pada bulan Ramadhan menurut hadis diatas, Allah Swt. menurunkan juga kita-kitab Allah lainnya pada bulan ini.
اِنَّا اَنْزَلْنَهُ فىِ اْلَيْلَةِ اْلقَدْرِ
Sesungguhnya kami menurunkan Al-Qur’an pada malam penuh kemuliaan” (Al-Qadr:1).

            Apabila kita melihat dari ayat ini terdapat surat al-Qadr, ayat ini menjelaskan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan penuh kemulyaan yang dimana didalamnya terdapat malam seribu bulan yang disebut dengan malam lailatul qadar [4], surat ini adalah surat yang ke-97 diturunkan oleh Allah menurut urutannya dalam mushaf setelah surat al-Alaq, para ulama Al-Quran berpendapat bahwa ia turun setelah nabi hijrah ke madinah dan dalam penempatan surat ini langsung dilakukan oleh Allah Swt. atas perintah-Nya dan mempunyai suatu keserasian-keserasian yang mengagumkan, menurut Quraish Shihab dalam bukunya membumikan al-Quran mengatakan “kalau dalam surat Iqra nabi (demikian pula kaum muslimin) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah al-Qur’an, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat al-Qadr ini berbicara tentang turunnya al-Qur’an.[5]
اِنَّا اَنْزَلْنَهُ فِىْ لَيْلَةِ مُبَرَكَةٍ
sesungguhnya kami telah menurunkan (al-Qur’an) pada malam penuh kemulyaan” (Ad-Dukhan:3).

            Menurut Ibnu Abbas sesungguhnya “Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, yaitu dalam malam yang penuh dengan kemulyaan dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda[6].
هُدَى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَتِ مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ
sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu”

            Dari ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat islam agar mendapatkan rahmat dari Allah sedangkan kata bayyinat itu sendiri bermakna petunjuk-petunjuk dan hujjah-hujjah yang jelas dan gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembela antara yang hak dan yang bathil serta halal haram.[7]

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu barang siapa diantara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”

Ayat ini menjelaskan hukum wajib berpuasa dan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan ramadhan, yakni ia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan ramadhan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat maka ia wajib berpuasa dan para imam madzhab pun sepakat dalam mewajibkan puasa pada bulan ramadhan ini karena ia merupakan salah satu dari rukun islam. Mereka pun sepakat bahwa puasa ramadhan wajib bagi setiap muslim yang berakal, baligh, suci (tidak dalam keadaan haidh dan nifas), dan sanggup mengerjakannya.[8]

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu barang siapa diantara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”

Empat imam madzhab sepakat bahwa wajibnya puasa ramadhan adanya dengan melihat hilal atau bulan sya’ban, namun mereka berbeda pendapat jika bulan tidak bisa terlihat atau terhalang mendung atau kabut tebal pada malam 30 sya’ban. Hanafi, maliki dan syafi,i, berpendapat bahwa tidak wajib berpuasa, tetapi menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban, sedangkan hambali berpendapat bahwaa wajib puasa dan harus memulai puasa. [9]
Menurut Hanafi, melihat bulan dapat dibenarkan jika langit terang dengan disaksikan oleh sejumlah orang yang khabar mereka menghasilkan ilmu yakin, sedangkan jika mendung, maka persaksian akan diterima dengan seorang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan ataupun budak. Maliki berpendapat, persaksian tidak dapat diterima kecuali dengan dua orang yang adil. Syafi’i, diperoleh dua pendapat dan Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih kuat persaksian seorang laki-laki yang adil  dapat diterima. Menurut kesepakatan empat ulama madzhab, tidak dapat diterima persaksian seorang saja dalam melihat hilal bulan syawal. [10] 
 Apabila ia mengerjakan itu karena untuk mencari ridha Allah maka dosanya yang terdahulu akan dihapuskan, hal ini terdapat dalam hadis nabi yang berbunyi:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاْحتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَمْبِهِ
Barang siapa yang puasa ramadhan karena iman dan mengharapkan ridha Allah, niscaya diampuni semua dosanya yang terdahulu

            Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang sakit dan orang bepergian dan orang yang bepergian dengan syarat kelak harus mengqadanya. Untuk itu Allah berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلىَ سَفَرِ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامِ اْلأُخَرَ
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib bagi ia berpuas) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain

Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau ia sedang perjalanan maka ia boleh berbuka. Apabila berbuka maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (diluar Ramadhan). [11] Karena itu dalam firman-Nya disebutkan:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian

            Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, tetapi puasa merupakan keharusan bagi orang yang mukim lagi sehat.
            Sebagian ulama mengartikan kata maridh bearti penyakit apa pun yang diderita seseorang, membolehkannya untuk berbuka, ulama besar Ibnu Sirrin, pernah ditemui makan di siang hari dengan alasan telunjuknya sakit, hal ini dapat disimpulkan bahwa Allah memilih redaksi demikian guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk memilih sendiri apakah dia berpuasa atau tidak, tetapi disisi lain oaring yang membatalkan puasanya harus menggantinya di hari yang lain. [12]
            Menurut ulama empat madzhab berpendapat sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) atau orang yang sedang sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa, tetapi jika mereka berpuasa maka puasanya sah, tetapi jika mereka berpuasa akan tetapi membahayakan maka hukumnya makruh. Sebagian ulama Zahir berpendapat, tidak berpuasa bagi orang yang bepergian adalah lebih utama secara muthlak dan jika musafir tersebut telah tiba pada tujuannya sedangkan ia tidak berpuasa maka wajib melakukan Imsak, yaitu menahan hal-hal yang membatalkan puasa pada sisa hari itu. [13]
            Lain halnya dengan wanita hamil atau menyusui, boleh tidak berpuasa apabila jika mereka merasa khawatir terhadap dirinya dan anaknya, jika mereka berpuasa tetap puasanya sah, tetapi jika mereka tidak berpuasa jika mereka merasa khawatir terhadap dirinya dan anaknya maka wajib mengqada dan membayar kafarah, yaitu satu mud dalam setiap harinya, demikian menurut imam Syafi’i yang paling kuat, dan menurut Imam Hambali dan Hanafi, tidak ada kafarah keduanya, sedangkan menurut Imam Maliki diperoleh dua riwayat, pertama, wajib kafarah bagi orang yang menyusui anaknya, tidak bagi wanita yang hamil, kedua, tidak ada kafarah keduanya.[14]
            Selain diatas ulama juga berbeda pendapat dalam masalah jarak yang ditempuh seorang musafir, secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 km, akan tetapi ada yang tidak menentukan jarak, seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjlanan maka akan memperoleh keringanan.[15]

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ وَلِتُكْمِلُو اْلعِدَّةِ وَلِتُكَبِّرُ اللهَ عَلىَ مَا هَدَ كُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupi bilangan dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepada  kalian agar kalian besyukur  ”.

            Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian, dan sesungguhnya Aki memerintahkan kalian mengqadanya agar kalian menyempurnakan bilanagan ramadhan kalian. [16]

وَلِتُكَبِّرُ اللهَ عَلىَ مَا هَدَ كُمْ
mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepada  kalian

Abu Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat, melihat ayat tersebut ia mengatakan bahwa wajib mengucapkan takbir dalam hari raya Idul Fitri, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat membaca takbir tidak disyari’atkan, dan imam yang lainnya mengatakan sunnah. [17]

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“agar kalian besyukur

            Apabila kalian mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian, barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut. [18]










Kepustakaan.

-        Syaikh al-Alammah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsiqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtillafil al-A’immah, al-Haramain li-Ath-Thiba’ah, Jeddah, tanpa tahun terbitan.
-        Al-Imam Abdul Fida Isma’il ibnu Kasir Ad_Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir juz 2, Sinar Baru Algesindo.
-        M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Maudhui atas Pelbagai Permasalahan Ummat), PT. Mizan Perkasa, tahun 2005.
-        M.Ishom El Saha.M.A,Saiful Hadi.S.Ag, Sketsa Al-Qur’an, Tempat,Tokoh, Nama,dan Istilah dalam Al-Qur’an, PT.Liska Fariska Putra,tahun 2005.






















[1]. M.Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Maudhui atas Pelbagai Permasalahan Ummat), PT. Mizan Perkasa, tahun 2005, 521-522.
[2]. Ibid, hal: 522.
[3]. Al-Imam Abdul Fida Isma’il ibnu Kasir Ad_Dimasyqi,Tafsir Ibnu Katsir juz 2, Sinar Baru Algesindo,hal: 164-165.
[4]. Ada yang berpendapat bahwa malam lailatul qadar tersebut sudah tidak akan hadir lagi. Karena kemulyaan yang diperoleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya al-Qur’an. Dan Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut faham diatas yang menyatakan bahwa nabi Saw. Bersabda “malam lailatul qadar sudah tidak akan datang lagi”. Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas kaum ulama, karena mereka berpegang teguh pada teks ayat al-Qur’an serta sekian banyak hadis yang menunjukan bahwa malam lailatul qadar terjadi pada setiap malam bulan Ramadhan. Bahkan Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam itu secara khusus pada malam-malam ganjil pada sepuluh akhir pada bulan Ramadhan. Pendapat ini dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja oleh empat surat al-Qadr yang mengandung arti berkesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan akan datang. M.Ishom El Saha.M.A,Saiful Hadi.S.Ag, Sketsa Al-Qur’an, Tempat,Tokoh, Nama,dan Istilah dalam Al-Qur’an,PT.Liska Fariska Putra,tahun 2005, hal: 376-377.
[5]. Ibid hal: 374.
[6]. Op cit hal: 168.
[7]. op cit, hal: 168.
[8]. Syaikh al-Alammah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsiqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtillafil al-A’immah, al-Haramain li-Ath-Thiba’ah, Jeddah, tanpa tahun terbitan, hal: 154.
[9]. Op cit, hal: 156.
[10]. Log cit, Syaikh Allammah, hal: 156.
[11]. Log cit, Ibnu Katsir, hal: 178.
[12]. Log cit, M.Quraish Shihab, hal: 525.
[13]. Log cit, Syaikh Allammah, hal: 154.
[14]. Ibid, hal: 154.
[15]. Log cit, M.Quraish Shihab, hal: 525.
[16]. Log cit, Ibnu Katsir, hal: 179.
[17]. Ibid, hal: 179.
[18]. Ibid, hal: 179.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar