I. Surat al-Baqarah ayat 185.
شَهْرُ
الرَّمَضَانَ الذِّى اُنْزِلَ فِيْهِ القُرْأَنُ هُدَى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَتِ مِنَ
اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ
اْليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا اْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا
اللهَ عَلىَ مَا هَدَكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (البقرة:185)
II. Kosa Kata.
Dilihat dari
pemaknaan, puasa dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak delapan kali akan tetapi
sekali al-Qur’an menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan
diri untuk tidak berbicara. “sesungguhnya aku bernazar puasa (shauman), maka
pada hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang pun” QS: Maryam: 26.
Demikianlah ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada
yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya Isa.a.s., sekali dalam bentuk
kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik bagi kamu”, dan
sekali menunjuk pada pelaku puasa pria dan wanita, yaitu as-shaimin
wash-shaimat.[1]
Walaupun kata yang bermakna puasa itu beraneka ragam,
kesemua itu terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang segi
bahasanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “tidak
bergerak”. Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum
syari’at sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari
makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari” [2]
kata bayyinat itu sendiri bermakna
petunjuk-petunjuk dan hujjah-hujjah yang jelas dan gamblang dan terang
bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang
dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan
jalan yang keliru, dan pembela antara yang hak dan yang bathil serta halal
haram.
Sebagian ulama mengartikan kata maridh bearti
penyakit apa pun yang diderita seseorang, membolehkannya untuk berbuka.
III. Munasabah Ayat.
Uraian al-Qur’an
tentang puasa ramadhan sebenarnya, bisa ditemukan dalam surah al-Baqarah ayat
183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan
setelah nabi Muhammad tiba di Madinah.
Dalam beberapa ayat
tersebut bisa dilihat apakah kewajiban itu langsung dijelaskan oleh al-Quran
selama sebulan penuh ?. maka agaknya kewajiban berpuasa pun bisa dikatakan
demikian, ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma’dudat (beberapa
hari tertentu) difahami sementara oleh para ulama selama tiga hari yang
merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. apabila dalam ayat 186 dijelaskan
bahwasanya kewajiban itu bukan sepanjang tahun akan tetapi hanya beberapa hari
saja, dan boleh bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan tidak berpuasa
tetapi menggantinya pada hari lain.
Selanjutnya disusul
dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan ramadhan dan pada ayat ini tidak
berbicara pada puasa tetapi pada doa, dan pada ayat 187 membahas tentang ijin
dalam melakukan sesuatu di bulan ramadhan disamping penjelasan lamanya puasa
yang harus dijalani. Jadi jelaslah hubungan ayat-ayat tersebut untuk saling
melengkapi atau menjelaskan ayat-ayat yang lain.
IV. Makna Global Ayat.
Ayat ini berisikan
tentang keistimewaan bulan ramadhan yang dimana pada bulan tersebut diturunkan
oleh Allah Al-Qur’an, serta kitab-kitab sebelum al-Qur’an dan dalam melaksanakan ayat ini juga berisi
perintah untuk menjalankan puasa bagi yang melihat hilal berserta keringanan-keringanan
yang diberikan oleh Allah untuk hambanya dalam melaksanakan badah puasa.
V. Pembahasan.
شَهْرُ الرَّمَضَانَ
الذِّى اُنْزِلَ فِيْهِ القُرْأَنُ
“Bulan ramadhan bulan yang didalamnya
diturunkan al-Quran”
Allah Swt. memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan
yang lainnya, karena Dia telah memilihnya diantara semua bulan sebagai bulan
yang padanya diturunkan Al-Qur’an yang agung, dan juga bulan yang dimana telah
diturunkan kitab Allah lainnya kepada para nabi sebelum nabi Muhammad, hal ini
dijelaskan oleh Imam Ibnu Hambal yang
menceritakan kepada kami Abu Sa’id Maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada
kami Imran Abdul Awwam dari Qatadah dari Ibnu Falih dari wasilah (yakni Ibnul
Asqa), bahwa Rasulillah Saw. Pernah bersabda:
انزلت صحوف ابرهيم فى
اول ليلة من رمضان وانزلت التورة لست مضين من رمضان والإنجيل لثلاث عشرة خلت من
رمضان وانزل الله القرأن لأربع وعشرين خلت من رمضان
“lembaran-lembaran Nabi
Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadhan dan kitab Taurat diturunkan
pada tanggal enam Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas
Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan”
Dan juga diriwayatkan dari hadis Jabir Ibnu Abdullah yang didalamnya
disebutkan:
انا الزبور انزل لثنتي
عشرة خلت من رمضان والإنجيل لثمانى عشرة
”bahwa
kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadhan, dan kitab Injil
diturunkan pada tanggal delapan belasnya.”.[3]
Sebenarnya sudah
jelas mengapa Al-Qur’an di turunkan pada bulan Ramadhan menurut hadis diatas, Allah
Swt. menurunkan juga kita-kitab Allah lainnya pada bulan ini.
اِنَّا اَنْزَلْنَهُ
فىِ اْلَيْلَةِ اْلقَدْرِ
“Sesungguhnya
kami menurunkan Al-Qur’an pada malam penuh kemuliaan” (Al-Qadr:1).
Apabila kita
melihat dari ayat ini terdapat surat al-Qadr, ayat ini menjelaskan bahwa bulan
Ramadhan adalah bulan penuh kemulyaan yang dimana didalamnya terdapat malam
seribu bulan yang disebut dengan malam lailatul qadar [4],
surat ini adalah surat yang ke-97 diturunkan oleh Allah menurut urutannya dalam
mushaf setelah surat al-Alaq, para ulama Al-Quran berpendapat bahwa ia turun
setelah nabi hijrah ke madinah dan dalam penempatan surat ini langsung
dilakukan oleh Allah Swt. atas perintah-Nya dan mempunyai suatu
keserasian-keserasian yang mengagumkan, menurut Quraish Shihab dalam bukunya
membumikan al-Quran mengatakan “kalau dalam surat Iqra nabi (demikian pula
kaum muslimin) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain
adalah al-Qur’an, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat al-Qadr ini
berbicara tentang turunnya al-Qur’an.” [5]
اِنَّا اَنْزَلْنَهُ
فِىْ لَيْلَةِ مُبَرَكَةٍ
“sesungguhnya
kami telah menurunkan (al-Qur’an) pada malam penuh kemulyaan”
(Ad-Dukhan:3).
Menurut Ibnu Abbas sesungguhnya
“Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan, yaitu dalam malam yang penuh
dengan kemulyaan dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus,
kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara
berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda” [6].
هُدَى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَتِ
مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ
“sebagai petunjuk bagi umat manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu”
Dari ayat ini
menjelaskan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat islam agar mendapatkan
rahmat dari Allah sedangkan kata bayyinat itu sendiri bermakna
petunjuk-petunjuk dan hujjah-hujjah yang jelas dan gamblang dan terang
bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang
dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan
jalan yang keliru, dan pembela antara yang hak dan yang bathil serta halal
haram.[7]
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena
itu barang siapa diantara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Ayat ini menjelaskan hukum wajib berpuasa dan suatu
keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan ramadhan, yakni ia
dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan ramadhan datang, sedangkan
tubuhnya dalam keadaan sehat maka ia wajib berpuasa dan para imam madzhab pun
sepakat dalam mewajibkan puasa pada bulan ramadhan ini karena ia merupakan
salah satu dari rukun islam. Mereka pun sepakat bahwa puasa ramadhan wajib bagi
setiap muslim yang berakal, baligh, suci (tidak dalam keadaan haidh dan nifas),
dan sanggup mengerjakannya.[8]
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena
itu barang siapa diantara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Empat imam madzhab sepakat bahwa wajibnya puasa
ramadhan adanya dengan melihat hilal atau bulan sya’ban, namun mereka berbeda
pendapat jika bulan tidak bisa terlihat atau terhalang mendung atau kabut tebal
pada malam 30 sya’ban. Hanafi, maliki dan syafi,i, berpendapat bahwa tidak
wajib berpuasa, tetapi menyempurnakan 30 hari bulan sya’ban, sedangkan hambali
berpendapat bahwaa wajib puasa dan harus memulai puasa. [9]
Menurut Hanafi, melihat bulan dapat dibenarkan jika
langit terang dengan disaksikan oleh sejumlah orang yang khabar mereka
menghasilkan ilmu yakin, sedangkan jika mendung, maka persaksian akan diterima
dengan seorang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan ataupun budak. Maliki
berpendapat, persaksian tidak dapat diterima kecuali dengan dua orang yang
adil. Syafi’i, diperoleh dua pendapat dan Hambali diperoleh dua riwayat, dan
yang lebih kuat persaksian seorang laki-laki yang adil dapat diterima. Menurut kesepakatan empat
ulama madzhab, tidak dapat diterima persaksian seorang saja dalam melihat hilal
bulan syawal. [10]
Apabila ia
mengerjakan itu karena untuk mencari ridha Allah maka dosanya yang terdahulu
akan dihapuskan, hal ini terdapat dalam hadis nabi yang berbunyi:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
اِيْمَانًا وَاْحتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَمْبِهِ
“Barang
siapa yang puasa ramadhan karena iman dan mengharapkan ridha Allah, niscaya
diampuni semua dosanya yang terdahulu”
Setelah masalah
puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang sakit
dan orang bepergian dan orang yang bepergian dengan syarat kelak harus mengqadanya.
Untuk itu Allah berfirman:
وَمَنْ كَانَ
مَرِيْضًا اَوْ عَلىَ سَفَرِ فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامِ اْلأُخَرَ
“dan barang siapa sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib bagi ia berpuas) sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa
memberatkannya atau ia sedang perjalanan maka ia boleh berbuka. Apabila berbuka
maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang
lain (diluar Ramadhan). [11]
Karena itu dalam firman-Nya disebutkan:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ
اْليُسْرَ وَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian”
Dengan kata lain,
sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan sakit
atau dalam perjalanan, tetapi puasa merupakan keharusan bagi orang yang mukim lagi
sehat.
Sebagian ulama
mengartikan kata maridh bearti penyakit apa pun yang diderita seseorang,
membolehkannya untuk berbuka, ulama besar Ibnu Sirrin, pernah ditemui makan di
siang hari dengan alasan telunjuknya sakit, hal ini dapat disimpulkan bahwa
Allah memilih redaksi demikian guna menyerahkan kepada nurani manusia
masing-masing untuk memilih sendiri apakah dia berpuasa atau tidak, tetapi
disisi lain oaring yang membatalkan puasanya harus menggantinya di hari yang
lain. [12]
Menurut ulama empat
madzhab berpendapat sepakat bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) atau
orang yang sedang sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa,
tetapi jika mereka berpuasa maka puasanya sah, tetapi jika mereka berpuasa akan
tetapi membahayakan maka hukumnya makruh. Sebagian ulama Zahir berpendapat,
tidak berpuasa bagi orang yang bepergian adalah lebih utama secara muthlak dan
jika musafir tersebut telah tiba pada tujuannya sedangkan ia tidak berpuasa
maka wajib melakukan Imsak, yaitu menahan hal-hal yang membatalkan puasa
pada sisa hari itu. [13]
Lain halnya dengan
wanita hamil atau menyusui, boleh tidak berpuasa apabila jika mereka merasa
khawatir terhadap dirinya dan anaknya, jika mereka berpuasa tetap puasanya sah,
tetapi jika mereka tidak berpuasa jika mereka merasa khawatir terhadap dirinya
dan anaknya maka wajib mengqada dan membayar kafarah, yaitu satu mud dalam
setiap harinya, demikian menurut imam Syafi’i yang paling kuat, dan menurut
Imam Hambali dan Hanafi, tidak ada kafarah keduanya, sedangkan menurut Imam
Maliki diperoleh dua riwayat, pertama, wajib kafarah bagi orang yang menyusui
anaknya, tidak bagi wanita yang hamil, kedua, tidak ada kafarah keduanya.[14]
Selain diatas ulama
juga berbeda pendapat dalam masalah jarak yang ditempuh seorang musafir, secara
umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 km, akan tetapi
ada yang tidak menentukan jarak, seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai
safar atau perjlanan maka akan memperoleh keringanan.[15]
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ
اْليُسْرَ وَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ وَلِتُكْمِلُو اْلعِدَّةِ وَلِتُكَبِّرُ
اللهَ عَلىَ مَا هَدَ كُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Allah menghendaki
kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan
hendaklah kalian mencukupi bilangan dan hendaklah kalian mengagungkan Allah
atas petunjuknya yang diberikan kepada
kalian agar kalian besyukur ”.
Yakni sesungguhnya
Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi yang sakit dan yang
sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki
kemudahan bagi kalian, dan sesungguhnya Aki memerintahkan kalian mengqadanya agar
kalian menyempurnakan bilanagan ramadhan kalian. [16]
وَلِتُكَبِّرُ اللهَ
عَلىَ مَا هَدَ كُمْ
“mengagungkan Allah atas petunjuknya
yang diberikan kepada kalian”
Abu Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat,
melihat ayat tersebut ia mengatakan bahwa wajib mengucapkan takbir dalam hari
raya Idul Fitri, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat membaca takbir tidak disyari’atkan,
dan imam yang lainnya mengatakan sunnah. [17]
وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُوْنَ
“agar kalian besyukur”
Apabila kalian
mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian, barangkali
kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan
hal tersebut. [18]
Kepustakaan.
-
Syaikh
al-Alammah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsiqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtillafil
al-A’immah, al-Haramain li-Ath-Thiba’ah, Jeddah, tanpa tahun terbitan.
-
Al-Imam Abdul Fida Isma’il ibnu Kasir Ad_Dimasyqi, Tafsir
Ibnu Katsir juz 2, Sinar Baru Algesindo.
-
M. Quraish
Syihab, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Maudhui atas Pelbagai Permasalahan Ummat),
PT. Mizan Perkasa, tahun 2005.
-
M.Ishom El
Saha.M.A,Saiful Hadi.S.Ag, Sketsa Al-Qur’an, Tempat,Tokoh, Nama,dan Istilah
dalam Al-Qur’an, PT.Liska Fariska Putra,tahun 2005.
[1]. M.Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an (Tafsir Maudhui atas
Pelbagai Permasalahan Ummat), PT. Mizan Perkasa, tahun 2005, 521-522.
[2]. Ibid, hal: 522.
[3]. Al-Imam Abdul Fida Isma’il ibnu Kasir Ad_Dimasyqi,Tafsir Ibnu
Katsir juz 2, Sinar Baru Algesindo,hal: 164-165.
[4]. Ada yang berpendapat bahwa malam lailatul qadar tersebut sudah
tidak akan hadir lagi. Karena kemulyaan yang diperoleh malam tersebut adalah
karena ia terpilih menjadi waktu turunnya al-Qur’an. Dan Ibnu Hajar menyebutkan
satu riwayat dari penganut faham diatas yang menyatakan bahwa nabi Saw.
Bersabda “malam lailatul qadar sudah tidak akan datang lagi”. Pendapat
tersebut ditolak oleh mayoritas kaum ulama, karena mereka berpegang teguh pada
teks ayat al-Qur’an serta sekian banyak hadis yang menunjukan bahwa malam
lailatul qadar terjadi pada setiap malam bulan Ramadhan. Bahkan Rasulullah
menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam itu secara khusus
pada malam-malam ganjil pada sepuluh akhir pada bulan Ramadhan. Pendapat ini
dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja oleh empat surat al-Qadr
yang mengandung arti berkesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini
dan akan datang. M.Ishom El Saha.M.A,Saiful Hadi.S.Ag, Sketsa Al-Qur’an,
Tempat,Tokoh, Nama,dan Istilah dalam Al-Qur’an,PT.Liska Fariska Putra,tahun
2005, hal: 376-377.
[5]. Ibid hal: 374.
[6]. Op cit hal: 168.
[7]. op cit, hal: 168.
[8]. Syaikh al-Alammah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsiqi, Rahmah
al-Ummah fi Ikhtillafil al-A’immah, al-Haramain li-Ath-Thiba’ah, Jeddah,
tanpa tahun terbitan, hal: 154.
[9]. Op cit, hal: 156.
[10]. Log cit, Syaikh Allammah, hal: 156.
[11]. Log cit, Ibnu Katsir, hal: 178.
[12]. Log cit, M.Quraish Shihab, hal: 525.
[13]. Log cit, Syaikh Allammah, hal: 154.
[14]. Ibid, hal: 154.
[15]. Log cit, M.Quraish Shihab, hal: 525.
[16]. Log cit, Ibnu Katsir, hal: 179.
[17]. Ibid, hal: 179.
[18]. Ibid, hal: 179.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar