ISTIHSAN
DAN MASLAHAH AL MURSALAH
Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun
yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti
“kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini
bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”
Adapun menurut istilah, Istihsan
memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah
dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena
didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri
seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi
konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat
di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi
tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika
seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya,
pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum
itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal
secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan
air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya
batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan
pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad
memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd
al-Wahhab Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini
dengan mengatakan,
Jika sebuah kasus terjadi
yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu kasus itu
seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid
nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus
yang kemudian –dalam pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau
memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya
maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum
tersebut menuju hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus
itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas
‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang
disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan
ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus
ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil
atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”
Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah)
Istihsan
Menyikapi penggunaan Istihsan
kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam
hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai
salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua
pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai
bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil-dalil yang dijadikan
pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang
diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak
ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini
menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik.”
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang
baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi
Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
4. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah
yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
-
Bolehnya masuk ke dalam hammam tanpa ada penetapan harga
tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
-
Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di
muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan
Zhahiriyah.
Para pendukung pendapat
ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu
terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya.
Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama
sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian
berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam
menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam
upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat
diterima.
3. Jika seorang mujtahid
dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam
masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh
seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini
tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan
melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu,
termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu
‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah
musuh-musuh Sunnah...’ ....”
Demikianlah dua pendapat
para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta
beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling
kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati
pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat
mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu
tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid
untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus
dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam
masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut
(sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali
mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita
dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena
kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam
penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan
kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan
sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para
pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang
hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama
–termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara
Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf
lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan
pendapat yang substansial. Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian-
ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam
beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud
dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh
seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak
ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan
Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat,
maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam
al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من
استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang
melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).” Maksudnya ia
telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan ini,
beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran
beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam
al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan
menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar
penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada
istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa
takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki
batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain
membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun
Imam al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang
berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup
kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:
“Saya tidak mengetahui
kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya
memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar.”
2.
Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari.
Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah
Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”
3.
Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang
telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:
“Bagus jika ia (muadzin)
meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).”
Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal
tersebut di hadapan Rasulullah saw.
Bila kedua hal ini
–pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap Istihsan- dicermati
dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang
diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang hanya berlandaskan hawa
nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena itu, kita belum
pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya- mencela berbagai Istihsan yang
dilakukan oleh Imam Abu Hanifah.
Pengertian Maslahah Al Mursalah:
Secara etimologi, maslahah sama
dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi,
terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi
seluruh definisi tersebut mangandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali,
mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan
menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Tujuan
syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek
tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk
menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan
syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasardalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasardalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’
memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya
ataupun pembatalnya.
Macam-Macam Al-Maslahah Al-Mursalah :
Para ahli ushul fiqh mengemuakkan beberapa pembagian maslahah,
jika dilihat dari beberapa segi :
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu,
para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.
Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima,
yaitu 1. memelihara agama, 2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara
keturunan, dan 5. memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan
al-mashalih al-khamsah.
2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3.
Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan
untuk memakan yang bergizi.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh
membaginya kepada:
1. Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
1. Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.
Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut
Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar
Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.
Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah
sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat, dan haji.
2.
Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan
dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.
Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi
kepada:
1.
Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3.
Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu: 1. maslahah al-gharibah,
yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada
dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. 2. maslahah
al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang
rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
Kehujjahan Al-Maslahah Al-Mursalah
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada
prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan
hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka
berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah
al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum.
Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap
sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan
suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan
oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan
Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.
Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis
kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.
Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga
hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.
Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi
atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan
maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i,
memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali
terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1. Maslahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2. Maslahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah
al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum,antara lain adalah:
1.
Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemaslahatan bagi manusia.
2.
Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman,
dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum
yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.
Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat,
seperti Umar ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf
(orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak
menuntut untuk hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar