ETOS
KERJA
BAB
1
PENDAHULUAN
Berkerja
adalah kewajiban dan dambaan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan kehidupan sepanjang masa, selama ia mampu berbuat untuk membanting tulang,
memeras keringat dan memutar otak.
Etos kerja adalah suatu pandangan
dan sikap suatu bangsa atau satu umat terhadap kerja. Kalau padangan dan sikap
itu, melihat kerja sebagai suatu hal yang luhur untuk eksistensi manusia, maka
etos kerja itu akan tinggi. Sebaliknya kalau etos kerja melihat kerja sebagai
suatu hal tak berarti untuk kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak
ada pandangan dan sikap terhadap kerja, maka etos kerja itu dengan sendirinya
rendah. Oleh sebab itu untuk menimbulkan pandangan dan sikap menghargai kerja
sebagai sesuatu yang luhur, diperlukan dorongan atau motivasi.
Etos kerja di Negara kita masihlah
sangat minim. Itu bisa kita lihat dalam penentuan dan pelaksanaan jam kerja
untuk instansi pemerintah. Secara resmi
badan-badan pemerintah , kecuali beberapa bank dan BUMN mempunyai jam kerja
untuk hari senin sampai hari kamis mulai dari pukul 07.00 hingga pukuk 14.00
dan untuk hari jumat mulai pukul 07.00 sampai dengan 11.00. Sedangkan hari
sabtu, dari pukul 07.00 hingga pukul 13.00. Maka dalam
praktek kantor-kantor pemerintah, jam kerja hanya berfungsi sekitar 33 jam
dalam seminggu. Memang ada satu atau dua pejabat pemerintah yang bekerja hingga
larut malam, akan tetapi dilihat dari sudut manajemen kurang berarti banyak,
karena yang harus berfungsi adalah seluruh kantor atau organisasi dan tidak hanya
satu atau dua orang saja.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pekerjaan
yang paling baik
عَنْ
رِفَعَةٍ بْن رَافِعٍ اَنَّ النَّبِىَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ
اَىُّ اْلكَسَبِ اَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيِّعٍ
مَبْرُوْرٌ ( رَوَاهُ اْلبَزَار وَصَحَحَهُ الحَكِيْم )
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ berkata bahwa Nabi Muhammad SAW ditanya
tentang usaha yang bagaimana dipandang baik?. Nabi menjawab: Pekerjaan
seseorang dengan tangannya dan setiap perdagangan yang bersih dari penipuan dan
hal-hal yang diharamkan.” (HR. Al-Bazzar dan ditashihkan Hakim).
Pembahasan
1. :
عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه maksud
ungkapan ini ialah pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri
(tenaganya) sendiri, seperti pertukangan kayu, tukang batu, tukang besi, dan
sebagainya), pertanian (bertani, berkebun, nelayan dan sebagainya).
2. كُلُّ بَيِّعٍ مَبْرُوْرٌ : maksud ungkapan ini ialah perdagangan yang bersih dari tipu
daya dan hal-hal yang diharamkan. Artinya ada unsur penipuan seperti sumpah
palsu untuk melariskan barang dagangannya dan barang yang perdagangkan itu
haruslah barang-barang yang diperolehkan menurut hukum agama dan hukum negara
dengan transaksi memenuhi syarat serta rukunnya (ash-shon’ani, 3-4).
3. Cara-cara untuk
memperoleh harta secara sah dapat dilakukan dengan banyak cara. Ada yang
melalui tanpa usaha, separti mendapat warisan, hibah (pemberian) dan shadaqah.
Ada juga yang melalui usaha jasa, seperti menjadi karyawan, buruh, pelayan,
tenaga profesional (teknisi, praktisi, pendidik dan peneliti) dan sebagainya.
Ada juga melalui usaha bekerja sendiri, seperti berdagang, bertani, berkebun,
menjadi nelayan dan sebagainya.
Al-Khuli dalam kitabnya al-adab
an-Nabawi mengemukakan bahwa dari berbagai cara untuk memperoleh harta yang
diutarakan di atas maka cara yanng lebih utama adalah usaha yang dilakukan
dengan tangan sendiri. Hal ini dinyatakan Nabi SAW dalam hadis yang lain, dari
Miqdam r.a yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Nasa’i dan perawi hadist
lainnya, bahwa Nabi SAW bersabda :
مَا
اَكَلَ اَحَدٌ طَعَامَا قَطٌ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلٍ بِيَدِهِ,
وَاَنَّ النَّبِى الله دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَأْكَلُ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ
“Tidaklah seseorang makan sesuap makanan
lebih baik daripada ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan
sesungguhnya Nabi Daud a.s adalah makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
Seseorang berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja keras menggunakan tangannya sendiri,
memeras keringat dan energidari badannya kemudian memakan hasilnya, sudah tentu
lebih baik dari makanan hasil dari yang baersumber peninggalan warisan,
pemberian atas kemurahan seseorang atau sedekah yang diberikan kepadanya karena
belas kasihan. Karena usaha seseorang mencari nafkah dengan memeras tenaga,
mencucurkan keringat itu akan berfaedah sehingga kalau ia makan apa yang
dimakannya menjadi terasa enak, dan makanan itu dicerna dengan cepat dan mudah
oleh pencernaan sehingga berguna bagi kesehatan tubuh. Demikianlah dijelaskan
Al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini.
4.
Selain dari hasil kerja tangan sendiri lebih baik dalam memenuhi kebutuhan
hidup, juga hadis Nabi SAW di atas mengemukakan bahwa termasuk usaha yang
terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah perniagaan yang bersih dari
penipuan dan hal-hal yang diharamkan. Kalau Nabi Daud a.s mencari nafkah
melalui usaha bekerja dengan tangannya, dalam sejarah beliau diceritakan
sebagai pandai besi, maka Nabi Muhammad SAW kita kenal dalam sejarah bahwa
beliau adalah seorang pedagang. Jadi dari petunjuk hadis ini jelaslah bahwa
usaha perdagangan termasuk usaha yang utama dalam pandangan agama. Bagi orang
yang beriman, kaum muslimin sudah tentu Rasulullah Saw adalah teladan yang utamadan
sunnah beliau adalah ikutan bagi umatnya. Menurut kalangan ulama hadis (muhadditsin)
bahwa yang dikatakan sunnah diangkat menjadi Rasul, tetapi juga sunnah beliau,
prilaku beliau sebelum menjadi Rasul (‘Ajjaz al-Khatib 1975: 27). Jadi
berdasarkan pemikiran kalangan ahli hadis ini maka pekerjaan Nabi Saw ketika
masa muda sebagai pedagang merupakan sunnah yang patut diikuti.
5.
Ash-Shon’ani mengemukakan bahwa dengan ungkapan (yang terbaik) adalah artinya
yang paling halal dan paling berkat. Jadi secara nyata hadis ini menunjukkan
bahwa usaha yang paling halal dan berkat itu adalah usaha tangannya sendiri,
kemudian baru usaha perniagaan menunjukkan usaha dengan tangan sendiri itu
lebih utama. Hal ini sejalan dengan hadis Miqdam di atas. Walaupun demikian
para ulama tetap berbeda pendapat tentang usaha yang paling utama. Di antara
tiga macam usaha yang bersifat pokok sebagaimana dikemukakan al-Mawardi yaitu
pertanian, perdagangan dan industri. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa usaha
yang terbaik itu adalah usaha pertanian karena usaha tersebut lebih dekat
kepada tawakkal. Dan karena pertanian itu membawa manfaat bukan hanya kepada
manusia secara umum, tetapi juga kepada binatang-binatang. Di samping itu usaha
pertanian termasuk kepada usaha yang dilakukann dominan dengan tangan.
B. Larangan Meminta-minta
عَنْ
اِبْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : قَالَ وَهُوَ عَلىَ اْلِميْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةِ وَالتّعْفُفَ
وَالْمَسْئَلَةَ اْليَد اْلعُلْيَا خَيْرُ مِنَ اْليَدِ السُّفْلَى فَاليَّدُ
اْلعُلْيَا هِىَ اَلْمُنَفِقَةُ وَالسُّفْلىَ هِىَ السَّائِلَةُ ( اَخْرَجَهُ
اْلبُخَارِى فىِ كِتَابِ الزَّكَاةِ )
“
Dari Umar r.a bahwasannya Rasulullah SAW bersabda dari atas mimbar mengajak
para orang kaya untuk bershadaqoh dan mengajak para fakir miskin untuk
memelihara kehormatan (martabat) diri serta mencela pekerjaan meminta-minta.
Beliau mengatakan bahwa tangan yang di atas (pemberi shadaqoh) lebih mulia dari
tangan yang di bawah (peminta-minta).” (Dikeluarkan oleh
Bukhari dalam kitab Zakat)
Pembahasan
1.
Istilah tangan
yang di atas dipahami dari hadis tersebut maksudnya ialah orang yang memberi
infaq/shadaqoh sedangkan “tangan yang di bawah” maksudnya ialah orang yang
meminta-minta (mengemis) mengharapkan belas kasihan orang. Sejalan dengan hadis
ini dalam hadis hadis yang lain dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi SAW bersabda :
اَلْيَدُ
اْلعُلْيَا خَيْرُ مِنَ اْليَدِ السُّفْلَى, وَابْدَا بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظُهْرِ غِنَى وَمَنْ
يَسْتَعْفِفْ يَعْفِهِ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنَ يُغْنِيْهِ الله ( رَوَاهُ
الْبُخَارِى )
“Tangan yang di atas
lebih baik dari tangan yang di bawah, mulailah dengan orang yang engkau beri
kecukupan belanja (yang menjadi tanggunganmu), dan sebaik-baiknya shadaqoh yang
diberikan setelah setelah mencukupi keperluan yang menjadi kewajiban yang
bersedekah. Barang siapa meminta belas kasihan, Allah menjadikan dirinya tetap
kondisimengharap belas kasihan, dan barang siapa menuntut kecukupan Allah akan
beri kecukupan padanya.” (H.R Bukhari).
Hadis
ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah lebih
dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu
barulah kepada yang lain. Di samping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa
Allah akan mencukupi seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya
berkecukupan tidak mau meminta belas kasihan orang lain. Ungkapan ini dapat
dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan bagi orang kaya atau yang
berkecukupan agar memberi kepada yang miskin dengan pemberian yang dapat
menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang mempunyai usaha
sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-minta
(mengharap belas kasihan orang).
2.Perbuatan
suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan hidup,
sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di
atas bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena
perbuatan tersebut merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah
sendiri sudah memuliakan manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :
وَلَقَدْ
كَرَمْنَا بَنِى اَدَم َوَحَمْلنَاهُمْ فىِ اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
(
سُوْرَةُ اْلإِسْرَاء : 70
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan
anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami berikan
mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ : 70).
Hadis ini juga
memotivasi manusia agar mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup haruslah
berusaha dengan bekerja dalam lapangan kehidupan yang ia mampu kerjakan, baik
itu berupa bertani, berdagang, bertukang, menjadi pelayan dan sebagainya.
Jangan sekali-kali mencari nafkah dari hasil meminta-minta sebagai pengemis
jalanan. Jadi hadi ini sangat erat hubungannya dengan hadis pokok bahasan
pertama yang menyatakan bahwa usaha terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup
adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri.
Demikiankah
juga hadis ini memberi isyarat bahwa agama Islam menyuruh umatnya bekerja untuk
mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek dan rendah martabat perilaku
menjadi pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bekerja mencari kayu bakar
kemudian dijual adalah lebih baik daripada mengemis. Hal ini dinyatakan Nabi
dalam salah satu sabdanya, hadis dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
لِاَنْ
يَطُبَ اَحَدُكُمْ جَزْمَةً عَلىَ ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدٌ
فَيُعْطِهِ اَوْ يَمْنَعُهُ ( اَخْرَجَهُ اْلبُخَاِرىْ مِنْ كِتَابِ اْلبُيُوْعِ(
“sesungguhnya bahwa seseorang di antara
kamu yang bekerja mencari kayu bakar, diikatkan di punggungnya kayu itu (guna
memikulnya) adalah lebih baik daripada dia meminta-minta yang kemungkinan
diberi atau tidak diberi.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab
al-Buyu’).
C.
Mukmin yang Kuat Dapat Pujian
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُؤْمِنُ اْلقَوِى خَيْرُ وَاَحَبُّ اِلىَ اللهُ مِنَ
الْمُؤْمِنُ اْلضَّعِيْفِ, وَفىِ كُلِّ خَيْرٍ اِحْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ
وَاَسْتَغْنِ باللهِ وَلاَ تَعْجِرُ وَاَنْ اَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ
عَنِّى فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا وَكَذَا, وَلَكِنَّ قُلْ قَدَّرَ الله
وَمَاشَاءَ اللهُ فَعُلَ, فَإِنْ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلُ الشَّيْطَانِ ( اَخْرَجَهُ
مُسْلِم )
“
Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min
yang memiliki keimanan yang kuat lebih Allah cintai daripada yang lemah
imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu akan menerbitkan kebaikan dalam segala
hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang bermanfaat dan mintalah pertolongan
kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan untuk bekerja. Jika suatu hal yang
jelek yang tidak disenangi menimpa engkau janganlah engkau ucapkan : Seandainya
aku kerjakan begitu, takkan jadi begini, tetapi katakanlah (pandanglah)
sesungguhnya yang demikian itu sudah ketentuan Allah. Dia berbuat apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya ucapan “seandainya” itu adalah pembukaan pekerjaan
setan.” (Hadis dikeluarkan Muslim).
Pembahasan
1. Hadits
ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal,
yaitu : 1) menguatkan keimanan, 2) rakuslah untuk berbuat yang bermanfaat, dan
3) mohon pertolongan kepada Allah. Di samping itu beliau melarang berbuat dua
hal, yaitu : 1) lemah, dan 2) menyesali apa yang telah menimpa diri dari
sesuatu yang tidak disukai, sehingga mengatakan : “ Seandainya aku lakukan
begitu, tak akan terjadi begini.”
2. Dalam
hadits dinyatakan : وَفىِ كُلِّ خَيْرٍ maksudnya
bahwa keimanan yang kuat pada diri seseorang akan menciptakan kebaikan dalam
segala hal. Sebab dari iman yang sempurna (benar dan kuat) akan mendorong
seseorang berbuat yang baik, yang sudah tentu akan berakibat yang baik bagi kehidupannnya.
Oleh sebab itu al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini berpendapat bahwa iman itu
menjadi pengawal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bila diikuti dengan
perbuatan baik (amal saleh). Di dalam al-Qur’an Allah berfirman :
مِنْ
عَمَلٍ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنُ فَلْنَحِيْيَنَهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيْنُهُمْ اَجْرَهُمْ بِأَحْسَنٍ مَا كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
( سُوْرَةُ اْلنَحْلِ : 97 )
“Barang
siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl : 97).
Keimanan
yang kuat (istiqamah) membuat seseorang rajin dan bersungguh-sungguh mencari
kebahagiaan, baik itu untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya
keimanan yang lemah, tidak atau kurang menjadi penggerak terwujudnya perbuatan
baik pada diri seseorang, bahkan hawa nafsu yang menguasai dirinya, sehingga
dirinya dengan mudah untuk berbuat kefasikan, berbuat yang tidak baik. Dengan
demikian maka akan jauhlah kebahagiaan yang diharapkan manusia itu. Oleh sebab
itu Rasulullah SAW menyatakan dalam hadis ini bahwa orang mukmin yang kuat imannya
lebih dicintai oleh Allah daripada yang lemah imannya.
3. Dalam
hadis ini Rasulullah SAW memerintahkan orang mu’min agar rakus (menyukai,
mengerjakan) pekerjaan yang bermanfaat. Oleh sebab itu seseorang yang beriman
haruslah bersikap tidak akan membiarkan waktu atau kesempatan yang dimiliki yang
ia dapat menggunakan kesempatan itu berlalu tidak dimanfaatkan. Seorang mu’min
yang baik dan bijak tentulah akan menggunakan kesempatan yang ada dengan
sebaik-baiknya, mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat, seperti
berusaha mencari rezeki, harta untuk keperluan dan kebahagiaan hidup, mencari
posisi dan kedudukan yang layak dalam percaturan kehidupan ini, atau menunutut
ilmu yang bermanfaat untuk bekal perjuangan hidup, atau menggunakan kesempatan
yang ada untuk beramal dan beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sehubungan dengan ini
Rasulullah SAW pernah memperingatkan dalam salah satu sabdanya yang berarti :
“ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu nikmat
kesehatan dan nikmat adanya kesempatan (H.R Bukhari dan Ibnu Abbas).
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda :
مَنْ حُسْنِ اِسْلاَمُ الْمَرْءِ
تَرْكَهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ( رَوَاهُ التِّرْمِذِى وَاَبُوْ هُرَيَّرةَ )
“Di antara kebagusan perilaku keislaman
seseorang adalah meninggalkan pekerjaan yang tidak berguna baginya.” (H.R
Turmudzi dan Abu Hurairah).
Di dalam al-Qur’an
surat Al-Ashr Allah SWT menyatakan bahwa manusia senantiasa dalam kerugian,
kecuali yang beriman dan beraktivitas yang positif serta saling mengingatkan
kejalan yang benar dan selalu bersabar (menghadapi tantangan dalam kehidupan
ini).
4. Perintah Nabi SAW
dalam hadis ini, yang ketiga adalah agar minta pertolongan kepada Allah SWT
sangat penting. Nabi mengingatkan kita tentang perintah ketiga ini, disebabkan
dalam kehidupan ini kita tidak akan luput dari kesulitan-kesulitan. Memang
Allah menciptakan kehidupan untuk menguji manusia menilai siapa yang paling
baik amalnya. Hal ini dinyatakan Allah SWT :
اَلَّذِى
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَحْسَنُ عَمَلَ وَهُوَ اْلعَزِيْزُ
اْلغَفُوْرِ ( سُوْرَةُ اْلمُلْكِ : 2 )
“ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S AL-Mulk : 3).
Oleh karena itu tidak
dapat tidak manusia memperoleh pertolongan kepada Allah SWT Yang Maha Pencipta
dan Maha Kuasa. Dalam Surat AL-Fatihah, surat yang wajib dibacadalam setiap
rakaat shalat, ada diikrarkan ungkapan “
Mengisyaratkan bahwa kita sangat
memerlukan pertolongan Allah SWT.
5. Setelah Nabi memerintahkan agar seorang mu’min
menguatkan iman, rakus untuk berbuat hal yang bermanfaat dan meminta
pertolongan kepada Allah SWT, maka sejalan dengan itu Nabi SAW melarang seorang
mu’min bersikap lemah. Hal ini diungkapkan Nabi dengan kata-kata yang dimaksud
dengan “lemah” di sini sudah tentu tidak lepas dari hubungan perintah
sebelumnya yaitu lemah dalam hal keimanan, lemah dalam hal kerakusan untuk
berbuat yang bermanfaat dan lemah dalam hal pertolongan kepada Allah. Kelemahan
yang demikian ini mengakibatkan lemah dalam kemauan atau kurang berkembang
untuk bekerja, beraktivitas yang bermanfaat. Al-khuli dalam kitabnya al-Adab
an-Nabawi menyatakan bahwa kurang kemauan membawa akibat seseorang menjadi
pemalas. Sifat lemah dalam kemauan dan pemalas sangat tidak disukai Rasul. Hal
ini dapat diketahui adanya do’a yang diucapkan Nabi SAW dengan ungkapan :
اَللَّهُمَّ
اِنِّى اَعُوْذُبِكَ اْلعَجْزِ وَاْلكَسْلِ
“Ya Allah sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari lemah (kemauan) dan pemalas”.
6. Larangan yang kedua
yang dinyatakan Nabi SAW dalam hadis ini
adalah menyesali sesuatu musibah atau sesuatu yang tidak disukai yang telah
terjadi menimpa diri, sehingga ia sampai berucap : “seandainya aku lakukan itu,
niscaya akan terjadi apa yang aku harapkan ,” atau dengan ucapan lain seperti :
“seandainya aku tidak lakukan itu, tidaklah akan terjadi begini.”
Nabi
saw melarang hal yang demikian ini disebabkan sikap yang dialami menandakan
tidak menganggap bahwa musibah yang dialami itu sudah kehendak Allah SWT yang
tidak seorangpun dapat menolak atau merubahnya. Sungguh mustahil kehendak yang
telah ditentukan Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dapat ditolak
kemauan hamba-Nya. Mustahil ketentuan yang sudah ditempatkan Allah SWT kepada
hamba-Nya itu akan dapat dibatalkan dengan usaha yang baru akan dilakukan. Jadi
perkataan “seandainya” itu adalah sia-sia bahkan kata Nabi SAW sikap yang
demikian ini membukakan pekerjaan setan, yakni setan dengan mudah untuk
menyesatkan aqidah hamba Allah SWT itu.
Al-Khuli
berpendapat bahwa takdir yang menimpa seseorang seperti sakit, akan dapat
ditolak setelah itu dengan takdir juga yaitu bertobat. Begitu juga dengan dosa
yang telah dilakukan dapat ditolak dengan bertobat dan musuh dapat ditolak
dengan berjihad melawannya.
Oleh
sebab itu musibah atau kegagalan ataupun kerugian yang menimpa kita, seharusnya
kita bersikap dengan cara menjadikann kegagalan itu sebagai pelajaran untuk
melangkah pada masa yang akan datang. Jadi kegagalan itu tidak boleh membuat
kita lemah kemauan untuk bekerja lebih giat dan tidak boleh membuat kita putus
asa. Kita harus memegang empat prinsip yang terdahulu yaitu kuat keimanan dalam
menghadapi musibah dalam bentuk kegagalan, tetap menumbuhkan kerakusan untuk
berbuat yang lebih baik, memohon pertolongan Allahsangat penting untuk
keberhasilan di masa mendatang dan janganlah menjadi lemah mental karena pukulan
kegagalan itu.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dalam
memenuhi kebutuhan hidup, agama mewajibkan manusia berusaha dengan bekerja
menurut kemampuan yang ada pada dirinya untuk mendapatkan rezeki. Pekerjaan dengan
menjadi peminta-minta dipandang agama sebagai pekerjaan yang merendahkan
martabat manusia.
2. Islam
sangat menyukai umatnya untuk selalu meningkatkan semangat kerja guna mencapai
kehidupan yang layak dan sejahtera dengan cara mempergunakan sebaik-baiknya
peluang-peluang atau kesempatan yang ada, serta tabah dan ulet, tidak mudah
putus asa jika ditimpa kegagalan dalam berusaha, di samping memohon pertolongan
kepada Allah.
3. Keimanan
yang kuat merupakan faktor penggerak dalam melahirkan budaya kerja yang pro
aktif dan efektif untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan di dunia dan
di akhirat.
thank gan
BalasHapus