MAHABBAH,
MA’RIFAT, DAN FANA BAQA
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini
akhlak dalam tasawuf sangat dibutuhkan dalam setiap manusia khususnya bagi
seorang muslim. Oleh karena itu khususnya bagi orang muslim haruslah tahu apa
arti ajaran-ajaran sufi atau pemahaman dalam aliran sufi itu, agar dalam
mengamalkan tepat pada sasaran yang sesuai dengan kaedah agama yang berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, pada zaman sekarang banyak dari
golongan-golongan umat muslim yang menyimpang dari ajaran agama, maka dari itu
untuk menjadi pedoman atau contoh dalam makalah ini kami akan membahas sedikit apa yang terdapat dalam ajaran-ajaran sufi
yang dapat kita teladani.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.
Apa arti dari
Mahabbah?
2.
Apa arti dari
Ma’rifat?
3.
Apa arti dari
Fana Baqa?
BAB
11
PEMBAHASAN
A.
MAHABBAH
Cinta atau yang dikenal dalam
bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata ahabbah-yuhibbu-mahabbatan,
yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta
yang mendalam.[1]
Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil
Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-baghd
(benci).[2]
Al- Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih
atau penyayang.[3] Selain
itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang
sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya,
orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah
airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat pula berartisuatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang
mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan.[4]
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah
lebih ditunjukkan kepada Tuhan.Dari sekian banyak arti mahabbah yang
dikemukakan diatas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah
yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan
yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.[5]
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut
dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut:
Al-Mahabbah merupakan
hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan)
Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta
kepada yang dikasiha-Nya.[6]
Mahabbah (kecintaan) Allah
kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah
dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan
nikmat yang melimpah.[7]
Mahabbah berbeda dengan al-raghbah. Mahabbah adalah cinta yang
tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah
adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan
sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.[8]
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah
adalah:
- Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
- Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
- Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan.[9]
Menurut
Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah,
yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah
orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat
Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah. Mahabbah orang
shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada
kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta
yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan
dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan..Ia
mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta
tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya
penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan
mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada
Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[10]
Dari ketiga tingkatan mahabbah
yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses
mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya
melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada
sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya
menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini
tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah ini.[11]
Dengan urain tersebut kita dapat
memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang
mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk
kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan
oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah
merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan
diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan.
Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara, datang dan pergi,
sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam perjalanannya mendekati
Tuhan.[12]
B.
MA’RIFAT
Al-Ghazali adalah sosok sufi
sekaligus filosof yang melansir konsep ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat
adalah:
Tampak jelasnya rahasia-rahasia
ketuhanan dan pengetahuan, yaitu soal ketuhanan
yang mencakup segala yang ada.[13]
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan,
ma’rifat adalah:
Memandang kepada wajah (rahasia)
Allah.[14]
Menurut Al-Ghazali, orang yang
mempunyai ma’rifat tentang Tuhan (arif),tidak akan mengatakan ya Allah
atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan
bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya
tidak akan memanggil temannya itu.[15]
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada
terlebih dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun
mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh
Rabi’ah al-adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang
berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada
manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain.Al-Ghazali
berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggiyang bisa
dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuanyang diperolehdari ma’rifat lebih
tinggimutunya daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[16]
Dari aspek bahasa, ma’rifat berasal
dari kata ‘arafa-ya’rifu-‘irfan, yang artinya pengetahuan atau pengalaman.[17]
Bisa juga berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripadailmu yang biasa dipelajari oleh orang-orang pada umumnya.[18]
Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, melainkan pada hal-hal yang bersifat batin.Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala
yang maujud berasal dari yang satu.[19]
Ma;rifat adalah salah satu tingkatan
dalam tasawuf yang diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
sanubari.pengetahuan ini sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwa seseorang
merasa satu dengan yang diketahuinya, yaitu Tuhan.[20]
Menurut Harun Nasution, ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam dalam
bentuk gnosis, pengetahuan, dan hati sanubari.[21]
ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari
dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu kaum sufi
mengatan:
1.
Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanyaakan tertutup,
dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.
Ma’rifat adalah
cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah
Allah.
3.
Yang dilihat
orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.
Seandainya
ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati
karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping
cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[22]
Dari beberapa definisi tersebut
dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dengan
menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifat
adalah mengetahui rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk
menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), tetapi
artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris karena qalb selain
merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal
ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika dilimpahi
cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah
dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid
secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang
bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan.[23]
Prose sampainya qalb pada cahaya
Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli. Takhalli
yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang
tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan
tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah.
Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.
Hal ini diilustrasikan dalam firman
Allah:
Ketika
Tuhannya tampak dibukit itu, maka bukit itu hancur lebur, Musa pun jatuh tak
sadarkan diri.[24]
Pengertian
tajalli juga dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai
berikut:
Dalam
laku tajalli, seorang hamba melihat Allah. Ketika itu, perbuatan, gerak, dan
diam seorang hamba adalah bagi Allah semata.[25]
Tajalli
juga bisa diartikan:
Siapa
pun yang mendapat tajalli dari Allah, maka dia mampu menangkap nur Ilahi. Dia
lalu meretas jalan menuju ma’rifat dan mampu menyelami dunia batin karena sifat
kebaruannya telah fana. Dia pun sampai kepada maqam haqqul-yaqin.[26]
Kutipan tersebut menunjukkan dengan
jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifat
setelah melampaui proses al-fana, yaitu hilangnya sifat-sifatdan rasa
kemanusiaan karena melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk
mencapai tajalli adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya
dari Tuhan.[27]
Kemungkinan manusia mencapai tajalli
atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan bisa dilihat juga dari isyarat ayat
berikut:
Cahaya
di atas cahaya, Allah mengaruniakan Cahaya-Nya kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya.[28]
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah
manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dia lalu bisa
mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah
mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu
Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki
antena parabolayang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah
swt berfirman:
Dan,
di atas yang berilmu pengetahuan ada lagi yang Maha Mengetahui (Allah).[29]
Ma’rifat
yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan
ilmu al-mauhubah (pemberian),[30]
Al-Syuhrawardi menyebutkan al-isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina
menyebutkan al-fa’id (limpahan).
Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai futuh (pembuka),
kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan
melabalinya sebagai wangsit.[31]
Uraian di atas telah
menginformasikan bahwa ma’rifat adalah
pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya
melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi.
Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan). Di
dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur” dan sebagian besar
dihubungkan dengan Tuhan.[32]
Misalnya ayat yang berbunyi:
Dan
barang siapa tidak dilimpahi cahaya (petunjuk) oleh Allah,maka dia tidak
mempunyai cahaya (kehidupan) sedikit pun.[33]
Apakah
orang yang hatinya telah dibuka oleh Allah untuk menerima Islam dan ia berjalan
dalam petunjuk serta cahaya Tuhan-Nya sama dengan orang yang buta hati?[34]
Dua ayat tersebut sama-sama
berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan
kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan
mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan
cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat
seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat
dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.[35]
Selanjutnya, simak juga hadits qudsi
berikut:
“Aku
(Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk. Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku.[36]
Hadits tersebut memberi petunjuk
bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya
dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat
dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
C. FANA BAQA
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid
al-Busthami (w. 261 H/876 M) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya adalah Thaifur.
Nmanya sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Tetapi bermacam-macam
pula anggapan orang tentang pendiriannya. Ia pernah mengatakan, “Jangan kamu
mudah tertipu kepada kekeramatan seseorang, misalnya dia sanggup terbang di
udara, sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan
menjauhi batas-batas yang dilarangnya.[37]
Al-Fana secara bahasa berarti hilangnya wujud
sesuatu. Al-Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana
artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini, ketika membedakan antara
benda-benda yang bersifat samawiyah dengan benda-benda yang bersifat
alam, Ibn Sina mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar
permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentukyang satu dengan yang lainnya,
hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan dengan cara rusak.[38]
Sedangkan arti fana menurut kalangan sufi adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.[39]
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana
adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa
yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakekat
ketuhanan sehingga tidak melihat lagi alam baru, alam rupa, dan alam wujud,
maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.[40]
Selain itu, fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk
(maksiat) lahir-batin.
Jika seseorang telah mencapai fana, maka ia akan
berada dalam keadaan baqa. Secara harfiah, Baqa berarti kekal,
sedangkan menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji
dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya sifat-sifat
basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat Illahiah. Dalam istilah
tasawuf, fana dan baqa beriringan sebagaimana dinyatakan oleh
para ahli tasawuf :
Jika tampak nur ke-baqa-an, maka fana-lah yang tiada,
dan baqa-lah yang kekal.[41]
Tasawuf ialah fana dari diri dan baqa dengan Tuhan karena
kehadiran hati sang diri bersama
Allah.[42]
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan fana ialah lenyapnya sifat-sifat basyariah,
akhlak yang tercela, kebodohan, dan perbuatan maksiat dari diri manusia.
Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji,
ilmu pengetahuan, dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa
perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah
penghancuran diri (al-fana an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau
kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut Al-Qusyairi, yang
dimaksud fana adalah :
Seseorang fana dari
dirinya dan dari makhluk lain karena hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula
makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.[43]
Apabila seorang sufi telah mencapai
al-fana an al nafs, yaitu apabila wujud jasmaniah tak ada lagi (dalamarti
takdisadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud ruhaninya dan ketika
itu ia berdatu dengan Tuhan secara ruhaniah. Menurut Harun Nasution, tampaknya
persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana an
al-nafs.[44]
Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat, dan
kelakuan buruk, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa, dan kelakuan baik.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai penghayatan fana’
fi’ llah (esctasy) disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi
(pemusatan kesadaran) dengan perantaraan zikir. Dalam kitab Hikam diterangkan
sebagai berikut :
Zikir adalah sebuah
pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan ma’rifat) pada Allah; maka
masukilah, sertailah setiap keluar masuknya nafas dengan zikir.
Telah diketahui pada bab dimuka, bahwa ma’rifat adalah
tingkat yang tinggi untuk bisa dekat dengan Allah, namun untuk ketingkat dimana
seorang sufi dapat melihat Tuhan pada lubuk hati sanubarinya tidak mudah.
Semakin tinggi ma’rifat seseorang maka semakin dekat ia dengan Tuhan. Yang
akhirnya bersatu dengan Tuhan. Namun untuk mencapai ma’rifat seorang sufi harus
bisa menghancurkan diri terlebih dulu. Proses penghancuran diri inilah di dalam Tasawuf disebut “fana”, yang
diiringi oleh “Baqa”.
BAB
111
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan urain tersebut
kita dapat memperoleh pemahaman bahwa :
Ø mahabbah adalah suatu keadaan
jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai
(Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh
kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa
mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam
karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara,
datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam
perjalanannya mendekati Tuhan.
Ø ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari
Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang
dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat
berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan).
Oleh
karena itu kaum sufi mengatan:
1.
Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanyaakan tertutup,
dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.
Ma’rifat adalah
cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah
Allah.
3.
Yang dilihat
orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.
Seandainya
ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati
karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping
cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Ø fana menurut kalangan sufi
adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu
yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.
Baqa
berarti
kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat
terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya sifat-sifat
basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat Illahiah. Dalam istilah
tasawuf, fana dan baqa beriringan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Mustafa, Drs., Akhlak Tasawuf, Pustaka
Setia, Bandung, 1999.
Sholihin, Dr.M.Ag., Akhlak
Tasawuf, Nuansa,Bandung, 2005.
Simuh, Tasawuf Dan
Perkembangannya Dalam Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996.
[1]
Lihat Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990,
hlm. 96.
[2]
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978,
hlm. 439.
[3]
Ibid., hlm. 349.
[4]
Abuddin Nata, akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4,
2002, hlm. 208
[5]
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi..., hlm. 440.
[6]
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir,
t.t., hlm. 318.
[7]
Ibid., hlm. 319.
[8]
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi..., hlm. 617.
[9]
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983, hlm. 70.
[10]
Ibid., hlm. 70-71.
[11]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf...,hlm. 210.
[12]
Harun Nasution, Falsafah dan ..., hlm. 63.
[13]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet.
Ke-1, 1995, hlm. 227.
[14]
Ibid., hlm. 227.
[15]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm. 226-227.
[16]
Harun Nasution, Filsafat dan..., hlm. 78.
[17]
IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, Sumatera Utara, 1983/1984,
hlm. 122.
[18]
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979,
hlm. 72.
[19]
Ibid., hlm. 72
[20]
Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Qahirah,
Mesir, t.t., hlm. 158-159.
[21]
Harun Nasution, Filsafat dan..., hlm. 75.
[22]
Ibid., hlm. 75-76.
[23]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm. 222.
[24]
Qs al-A’raf[7] : 143.
[25]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami...., hlm. 246.
[26]
Ibid., hlm. 247.
[27]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm. 224.
[28]
Qs al-Nur [24] : 35
[29]
QS Yunus [12] : 76.
[30]
Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm.
56.
[31]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm. 225.
[32]
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim,
Dar al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 725-726.
[33]
Qs al-Nur [24] : 40.
[34]
Qs al-Zumar [39] : 22
[35]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm. 230.
[36]
Ibid., hlm. 230
[37]
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, cet.
Ke-11, 1984, hlm. 102.
[38]
Jamil Shaliba,Al-Mu’jam al-Falsafi..., hlm.167.
[39]
Ibid., hlm. 167.
[40]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami..., hlm. 234.
[41]
Ibid., hlm. 234.
[42]
Ibid., hlm. 234.
[43]
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah..., hlm. 303.
[44]
Harun Nasution, Filsafat dan..., hlm. 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar