HADITS MENURUT ORIENTALIS DAN BANTAHAN PARA
ULAMA DALAM MEMPERTAHANKANNYA
Pendahuluan
Dalam membicarakan
masalah “Hadis dan Orientalis”, maka tidak jauh dari cara-cara orang
barat (orientalis) yang mempunyai intelektualisme dalam mempelajari ilmu keislaman
dalam rangka mencari kelemahan dari islam itu sendiri.
Hal ini juga telah
dijelaskan oleh Allah Swt. “banyak diantara ahlul kitab menginginkan
sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir
kembali karena rasa denki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi
mereka…[1].
Apabila kita melihat ayat tersebut sudah jelaslah bahwa kaum orientalis
tersebut menginginkan kita mengikuti mereka dengan berbagai cara baik dari segi
ekonomi, sosial, budaya maupun dari segi keyakinan beragama seperti yang akan
dijelaskan kemudian.
Oleh Karena itu
kita kita sebagai umat islam harus berhati-hati terhadap mereka karena mereka
mempunyai banyak cara dalam memperjuangkan agar kita sebagai umat islam
tidak lagi mengakui islam sebagai agama dan keyakinan kita bahkan dalam
menghancurkan islam.
Salah satu cara
mereka (orientalis) dalam melemahkan atau menghancurkan keyakinan umat islam
yaitu dengan mencari kelemahan dari hadits-hadits nabi, dan tokoh-tokoh
yang paling fundamental dalam eksisnya hadits ini, mengapa ?, hal ini
dikarenakan hadits nabi merupakan salah satu sumber kedua dari ajaran islam
setelah al-Qur’an.
Pengertian Hadits dan orientalis
Dalam pembahasan
ini tidak di bahas secara rinci daripada pengertian hadits karena sudah
dijelaskan pada makalah sebelumnya, akan tetapi akan dijelaskan pengertian hadits
menurut beberapa ahli bidang keilmuan islam. Menurut para ahli hadits,
hadits secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi
Muhammad Saw. Dalam bentuk ucapan, perbuatan, perangai dan sopan santun ataupun
sepak terjang perjuangannya, baik sebelum maupun setelah diangkatnya jadi rasul,
sedangkan menurut para ahli ushul, hadits adalah segala sesuatu
yang bersumber dari nabi Saw baik dari bentuk ucapan, perbuatan maupun
ketetapannya. [2]
Sedangkan
orientalis itu sendiri adalah studi islam yang dilakukan oleh
orang-orang barat, sedangkan kritikus barat bernama Edward W Said
menyatakan orientalis adalah suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan
tempatnya yang khusus dalam pengalaman dunia Barat Eropa. Secara bahasa
orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur dan secara etnologi
berarti bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang
bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya, oleh karena itu penulis bisa
mengatakan bahwa orientalis ini berarti orang-orang barat atau eropa yang
meneliti segala sesuatu tentang ketimuran baik itu budaya, bahasa, tingkah
laku, keyakinan, keilmuan dan lain-lain dengan tujuan baik maupun buruk, tapi
apabila kita melihat dari ayat al-Quran yang telah dijelaskan terdahulu mereka
(orientalis) tidak akan berhenti dalam mencari cara agar kita mengikuti mereka.
[3]
Hadits Menurut Orientalis
Banyak tokoh-tokoh orientalis yang meneliti dan menanggapi daripada hadits,
tetapi ada tokoh-tokoh terkenal yang mempunyai pengaruh yang besar dalam
pendapatnya diantaranya :
Ignaz Goldziher [4].
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama
kali melakukan kajian tentang hadits adalah Ignaz Goldziher
dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia mengatakan: ”bagian
terbesar dari hadits tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama
dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar
pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada
sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan
Islam pada masa kematangan” .
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher
untuk membuktikan keaslian hadits Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat
yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits yang dilakukan oleh Ibn
Syihab al-Zuhri [5]. Menurut
Goldziher al-Zuhri mengatakan:”(Sesungguhnya para
pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami
untuk menulis beberapa “hadits”)”. Kata-kata “al hadis” dalam
kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa
arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam
teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir
adalah “al Ahadis” yang berarti hadits-hadits yang sudah
dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits yang berasal dari Nabi
Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu
telah memaksanya untuk menuliskan hadits-hadits Nabi yang pada saat itu
sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian
ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah
memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga
menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini
karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan
kurang menggunakan metode kritik matan [6],
karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu
kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadits itu
mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat
bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan
Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah
disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits:
“Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram,
Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha”. Menurut Goldziher,
Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa
khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah)
mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya)
yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya.
Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak
lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra
di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah
Syam [7].
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul
Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits
dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat islam
tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid
Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadits
tersebut tidak shahih karena ia merupakan buatan ibn Shihab al-Zuhri
dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab
shahih al Bukhari [8] yang
diakui otentisitasnya oleh umat islam, bahkan diakui sebagai kitab yang
paling otentik sesudah al-Qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit
untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk
meruntuhkan kepercayaan umat islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari
yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai
sekarang [9].
Joseph Schacht [10].
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadits
adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada
teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja
perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits, Josepht
Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah
bahwa sistem isnad [11] mungkin
valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi
rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw.
dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:
1. Sistem isnad
dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu
diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin memproyeksikan
ke belakang ”doktrin-doktrin” mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara
bertahap “meningkat” oleh pemalsuan: isnad-isnad yang terdahulu
tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi
klasik.
4. Sumber-sumber tambahan
diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang
dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu
sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi
yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman
narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits
itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam
rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits
Nabi Saw, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
Teori Projecting
Back
Maksudnya
adalah untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat
penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits
Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al-Sya’bi
(110 H). Oleh karena itu jika ada hadits-hadits yang berkaitan dengan
hukum islam, maka itu adalah buatan orang-orang sesudah al-Sya’bi.
Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah
mengangkat para hakim.
Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang
sarjana (ulama atau perawi) pada waktu tertentu tidak cermat
terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits
oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana
sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits
tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits ditemukan pertama kali tanpa
sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang
komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk
membuktikan hadits itu eksis atau tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits
tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha.
Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan
sebagai refrensi.
Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah
susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk
mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang
terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad
keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat
sebuah hadits kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar keluarga
adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu
kelompok perawi dengan perawi lainnya [12].
Jyunboll [13].
Adapun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H.
A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies
in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan
The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits
yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau
mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans
Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan
secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah
ustman (656 M) Jyunboll menolak anggapan ini dengan
bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru
dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair
dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadits-hadits
palsu. Seperti hadits “man kadzaba...…”, Jyunboll
menemukan sekurang-kurangnya lima jalur sanad yang disandarkan pada Abu
hanifah. Dia beranggapan hadits itu disusun pada saat-saat tertentu
setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu
hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengesampingkan hadits.
Oleh karena itu jika ada koleksi hadits yang
menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu
usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan
antara madrasah ahl al-ra’yu dengan madrasah ahlal-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht
sembari menambahkan bahwa kolektor hadits (mukharrij) yang
koleksi haditsnya berbeda atau tidak menemukan hadits yang
dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadits itu
terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu.
Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht, dia
menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan
menyimpulkan bahwa, pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan
gambaran nyata bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin
tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk
menyelidiki kepalsuan suatu hadits.
Common link adalah istilah yang dipakai untuk
seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang
lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid
yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya lagi kepada dua atau
lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat
tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits
kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits
itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa
semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat
hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim
kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat
dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang
ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single
strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.
Sebelum Juynboll, fenomena common link
ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph
Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher
dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan
Jurisprudence,
terbitan Oxford adalah salah satu karyanya, nah, dari kedua tokoh besar
inilah, Juynboll (pakar sejarah islam klasik dan hadits)
melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link.
Selain itu mereka menuduh perawi hadits
Abu hurairah [14],
mereka beranggapan bahwa sewaktu datang para
pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membuat hadits-hadits
bohong, seolah-olah datang dari Rasulullah Saw. Mereka memperalat dan
menyalahgunakan nama Abu Hurairah dalam periwayatan hadits-hadits
palsu itu. Dengan kelakuan mereka ini, hampir-hampir Abu Hurairah ra
diragukan tentang kelebihannya dalam meriwayatkan hadits.
Sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab ra pernah melarang Abu
Hurairah ra untuk menyampaikan hadits dan hanya membolehkannya
menyampaikan ayat Al-Quran. Hal itu disebabkan karena tersebarnya khabar
angin tersebut. Larangan khalifah baru dibatalkan setelah Abu
Hurairah ra mengutarakan hadits mengenai bahaya hadits palsu.
Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis
Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum
merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan islam
disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya: Prof.
Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam)
Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin)
dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith
Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher
lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka
(kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia
Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan
pencatan hadits pada awal-awal periode islam, dalam bukunya Studies
in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot
menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase:
pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa
Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada
peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits
kedalam buku-buku fiqh.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa
kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadits
Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah
hukum, mereka malah memasukkan hadits-hadits ritual. Sebagai contoh dari
47 hadits yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal
dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan
dengan topik yang didiskusikan.
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami
menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher,
bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang
seharusnya berbunyi al-hadits, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadits
saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri
dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn
Zubair) untuk membuat hadits, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat
al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik,
kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al
Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu
memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di
sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang Abdul Qadir profesornya
untuk membuktikan kebenaran teks al-Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul
Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher
adalah teks hadits itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih
Bukhari, hadits tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa
menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada
hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al-Aqsha, dan hal ini wajar
mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi umat islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadits tidak semata-mata
didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan,
perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi
sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Dalam sejarahnya, kritik matan hadits lahir lebih
awal daripada kritik sanad hadits. Kritik matan sudah ada sejak zaman
sejak zaman Nabi Muhammad Saw, sementara kritik sanad baru muncul
sesudah terjadinya fitnah di kalangan umat Islam, yaitu
perpecahan diantara mereka menyusul terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra
pada tahun 35H. Sejak saat itulah setiap orang yang menyampaikan Hadits
selalu ditanya dari siapa ia memperoleh hadits itu. Apabila hadits
itu diterima dari orang yang tsiqqah [15],
maka ia diterima sebagai hujjah dalam islam. Namun apabila hadits
itu diterima dari ahli bid’ah, maka hadits tersebut ditolak
sebagai hujjah. [16]
Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi
as-Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadits juga bertumpu pada matan
[17].
Bantahan untuk Josep Schacht.
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph
Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya.
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika
menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai
dasar postulat atau asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam
Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak
bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadits
Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh
karena itu untuk meneliti hadits Nabi sebaiknya menggunakan dan
berpedoman pada kitab-kitab hadits.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht
telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad
abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya
sangat mustahil hadits bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht
dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of
Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula
Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya
Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi
dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu
terhadap referensi yang berasal dari dua generasi di belakang Syafi’i,
kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik
dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid
menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz
Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadits dengan alasan,
pertama, belum mencakup seluruh hadits yang ada, kedua,
lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann
hadits, ketiga, campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan
kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi
berdasarkan empat koleksi hadits : al-Muwatha’ karya Imam
Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf
dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadits
dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadits
belakangan. Misalnya, sejumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwatha’
karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’
karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga
sejumlah hadits yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak
dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani
ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari
berdasarkan empat koleksi hadits ini paling tidak mampu mengoreksi
asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para
pengkaji hadits untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain
faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup
untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadits-hadits
yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk
menghimpun hadits, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran
fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh
para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadits
untuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting.
Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadits-hadits yang relevan
dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadits-hadits
tersebut ada.
Di samping itu Azami
membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadits pada masa kemudian, padahal
pada masa-masa awal hadits itu dicatat oleh perawi, disebabkan
pengarangnya menghapus atau menasakh hadits tersebut, sehingga ia tidak
menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht
terbukti ketika dia mengkritik hadits-hadits hukum adalah palsu,
ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadits-hadits ritual (ibadah)
yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian
untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain,
khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya
sejarah hadits. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadits-hadits
nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik
Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah
murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah Suhail ini berisi 49
hadits. Sementara Azami meneliti perawi hadits itu sampai
kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah
altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan
bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang,
sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai
Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang
mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht
dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis
itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi
dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini
dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu
memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang
telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa hadis-hadis yang
berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan
perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan
panutan umat islam [18].
Bantahan untuk Jyunboll.
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para
sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya.
Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah
hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami
cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang
dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang
perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat
seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang
meriwayatkan hadits pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an
dirinya oleh para kritikus hadits maka tidak ada alasan untuk menuduhnya
sebagai seorang yang memalsukan hadits. Para ahli hadits sendiri
telah menyadari adanya periwayatan hadits secara infirad
(menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada
kualitas para periwayat hadits pada isnadnya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika
seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan
salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link.
Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadits itu tidak parsial.
Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadits sebagai common
link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link.
Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak
bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat [19].
Simpulan
Dari deskripsi makalah di
atas kami dapat menyimpulkan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Salah satu cara orientalis dalam meragukan otentisitas hadits
adalah dengan menuduh para ulama Hadits kurang memperhatikan aspek matan dalam
metodologi penelitiannya dan menuduh penelitian Hadits yang dilakukan oleh
ulama klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan
metodenya.
2.
Sebuah kekeliruan besar apabila para orientalis menuduh penelitian hadits
yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan. Adapun,
kenapa di zaman modern ini (bukan Zaman Klasik), Kritik Matan dan Ilmu Ilal
berkurang kadar kajiannya? Jawabannya jelas. Pertama, karena mayoritas hadits-hadits
yang ada sudah terseleksi semuanya secara sanad maupun matan
dengan sangat cermat oleh para pakar tersebut. Dan kedua, karena untuk
menghasilkan kajian yang verified dalam bidang ini, dibutuhkan penenuhan
kriteria dan parameter-parameter yang cukup berat dan tidak sembarangan.
3.
Bahwa
ketekunan dan minat/gairah intelektual para orientalis untuk mempelajari hadits
patut untuk direspon dengan baik. Hanya saja niat dan tujuan mereka yang jahat
itulah yang patut diwaspadai . Keseluruhan ulama pendukung hadits, yakin
bahwa kajian-kajian islam (terutama al-hadits) yang dilakukan oleh
orientalis tidak dimaksudkan kecuali dengan tujuan meragukan dan menyanggah
kebenaran dasar-dasar syari’at islam.Oleh karena itu umat islam
dituntut untuk terus mengkaji dan mengembangkan studi yang lebih intensif dan
metodologis dalam rangka mempertahankan serangan-serangan dari fihak di luar
Islam dan sekaligus mengembangkan pemahamna-pemahaman baru yang bisa lebih
diterima oleh pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab. Akhir al kalam
Wallahu a’lam bi al Shawab.
KEPUSTAKAAN
A. Buku
At-Tanjil, Al-Qur’an dan terjemahnya juz 1
sampai 30 (transiliterasi), Sinar Baru Algesindo, Bandung, tahun: 2006.
Assiba’i, musthafa, Al-Hadits Sebagai Sumber
Hukum dan Kedudukan as-Sunnah Dalam Pembinaan Hukum Islam, cv Diponegoro,
Bandung, tahun: 1993.
Muqhbil, Abdurrahman, Bantahan Terhadap Musuh
Sunnah, Pustaka Azzam, tahun: 2003.
Sutiyono, Study Ilmu-Ilmu Hadits, IAIN
Raden Fatah Press, Palembang, tahun 2006.
B. Internet
http://ahlulhadis.wordpress.com/category/terjemah-sunan-abu-dawud/.
http.//benarkah-ulama-hadits-kurang-perhatian-terhadap-kritik-matan//haris-nugroho/.
C. Artikel
Dr. Syamsyudin, Gugatan Orientalis
Terhadap Hadis.
Ilmu Hadits (Musthalahul Hadits)
[1]. Q. al-Baqarah: 109.
[2] Dr. Musthafa Assiba’I, Al_Hadits Sebagai Sumber Hukum dan
Kedudukan Sunnah Dalam Pembinaan Islam,Diponegoro, tahun 1993, hal 67-68.
[3]. Menurut Dr. Syamsyudin dalam salah satu karya ilmiah yang berjudul
Gugatan Orientalis Terhadap Hadis, Orientalis
yang dimaksud adalah orientalis para sarjana Barat yang notabene non-Muslim
(Yahudi, Kristen atau bahkan atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta
seluk-beluknya dan kalangan Muslim yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka
lalu latah dan ikut-ikutan menolak hadits secara keseluruhan.
[4]. Ignaz
Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada
tahun 1850 Masehi. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873
ia pergi ke Syiria dan belajr pada Syaikh Thahir al Jazairi. Kemudian pindah ke
Palestina lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama al Azhar.
Sepulangnya dari al Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Universitas
Budapest. Karya-karya tulisnya yang membahas masalah keislaman banyak
dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis. Bahkan sebgaian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari
karya-karya tulisnya adalah buku yag berjudul: Muhammadanische Studien, di mana
ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat. Di samping
karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of
Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La
Tradition Islamique. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. http://ahlulhadis.wordpress.com/category/terjemah-sunan-abu-dawud/.
[5]. Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab
Az-Zuhri (124 H) beliau merupakan tokoh besar dalam ilmu hadits, Umar bin Abdul
Aziz mengatakan bahwa tidak ada di permukaan bumu ini yang melebihi ilmunya
dalam ilmu hadits dan Imam Muslim pun mengatakan az-Zuhri inilah orang yang
menyelamatkan 90 hadits shahih yang belum sempat diriwayatkan oleh rawi lain.
Dr. Musthafa Assiba’i, hal: 167.
[6]. Kata matan berasal dari kata mairfata min al-ardhi
yaitu tanah yang meninggi, punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan
tinggi, sedangkan menurut istilah adalah suatu kalimat tempat
berakhirnya sanad, sedangkan Ajjaj Al-Khattib mendefinisikan lafadz-lafadz
hadits yang didalamnya mengandung makna tertentu. Sutiyono.M.Ag.Study
Ilmu-Ilmu Hadits,IAIN Raden Fatah Press,2006, hal: 90.
[8] Salah satu kitab yang berisikan hadits yang termasuk dalam Kutubus
Sittah, lengkapnya Sunnan At-Turmudzi, Sunnan An-Nasa’i, Sunnan Abu
Daud, dan Sunnan Ibnu Majah. Lihat Ilmu Hadits Musthalahul Hadits hal: 296.
[9]. Selain
dari golongan ini, terdapat juga kritikan yang kuat daripada golongan syiah.
Diantara sebab-sebab yang memungkinkan kaum syi’ah menolak hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah ra adalah:
1. Abu Hurairah ra
merupakan penyokong Ustman bin Affan ra.
2.
Beliau Ra pernah menjadi pegawai dinasti Umayah.
3. Beliau Ra tidak
meriwayatkan hadits yang menyatakan pujian atau pengistimewaan kepada Ali ra. Dikutip dari Ibnu
Hajar dalam At-Tahzib, hlm. 67.
[10] Josepht
Schahct
adalah seorang profesor kelahiran Silisie Jerman pada atanggal
15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik,
teologi dan bahsa-bahasa timur di universitas Berslaw dan Universitas
Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari Universitas Berslaw pada tahun
1923 ketika berumur 21 tahun. Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas
Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada tahun
1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia
meninggalkan negrinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani
di Universitas Fuad Awal (Universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di
Mesir samapai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II
Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas
Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah
ke Belanda sebagai guru besar di Universitas Leiden sampai tahun 1959.Ia
pindah lagi ke Universitas Columbia New York sebagai guru besar samapai
ia meninggal pada tahun 1969.
[11]. Mufradnya adalah sanad, menurut Ajjaj Al-khatib sanad adalah “Silsilsh
para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama”. Op cit
Sutiyono.M.Ag, hal: 87.
[13]. Merupakan pendukung setia kedua orientalis di
atas. Karya-karyanya antara lain: The Authenticity of The Tradition
Literature, Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The
Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim
Tradition, Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith
dan The Date of The Great Fitna.
http://ahlulhadis.wordpress.com/category/terjemah-sunan-abu-dawud/
[14]. Nama yang disandang
beliau pada masa jahiliyah adalah Abdu Syamsi. Setelah beliau
masuk Islam, Allah SWT memuliakan dirinya dengan bertemu Rosulullah saw.
Kemudian Rosulullah saw mengganti namanya dengan Abdurrahman.
Adapun gelar Abu Hurairah ra karena kegemarannya bermain dengan anak kucing.
Diceritakan pada suatu masa ketika Abu Hurairah ra bertemu Rasullullah saw dia
ditanyai tentang apa yang ada dalam lengan bajunya. Apabila dia menunjukkan
anak kucing yang ada dalam lengan bajunya, lantas dia diberi gelar Abu Hurairah
ra oleh Rasullullah saw. Semenjak itulah, dia lebih suka dikenali dengan
gelaran Abu Hurairah ra. Abu Hurairah ra memeluk Islam pada tahun ke-7 Hijriyah
ketika Rasulullah saw berada di Khaibar, ia memeluk Islam dengan perantaraan
tangan Thufail bin Amru Ad-Dausiy. Semenjak ia bertemu dengan Nabi saw,
ia berbai’at kepadanya dan hampir-hampir tidak pernah berpisah darinya kecuali
pada saat-saat tertentu seperti waktu tidur. Begitulah kehidupannya selama
kurang lebih empat tahun dalam menemani Rosulullah saw. Dan karena itulah,
beliau mempunyai perbendaharaan yang sangat menakjubkan dalam meriwayatkan hadits. Jumlah hadits
yang dikumpulkan Abu Hurairah ra sebanyak 5.374 hadits dan jumlah ini
paling banyak diantara jumlah yang dikumpulkan sahabat-sahabat yang lain. Hadits
Abu Hurairah r.a. yang disepakati Imam Bukhari dan Muslim berjumlah
325 hadits, oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits sedangkan
oleh Muslim 189 hadits. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ra juga terdapat
dalam kitab-kitab hadits lainnya. http://ahlulhadis.wordpress.com/2008/05/31/gugatan-terhadap-hadis/.
[15]. Terpercaya.(pen)
[16]. http. Benarkah Ulama Hadits Kurang Perhatian terhadap Kritik
Matan//haris nugroha/.
[19]. Log cit Sutiyono, hal: 261.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar