SYI’AH
(ZAIDIYAH, IMAMIYAH, DAN GHULAT)
1. Pendahuluan
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul
dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam
Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya
persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam
persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal
Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi
Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta
keturunan-keturunannya. Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam
Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara
Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka
mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan
pada seorang Imam merupakan tolok ukur beriman tidaknya seseorang, di samping
paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.
Apa itu Syi’ah dan bagaimana asal-usulnya serta apa saja pokok-pokok ajarannya?
Insya Allah akan kami ketengahkan dalam makalah ini. Makalah ini juga memuat
pembahasan tentang beberapa sekte dalam Syi’ah yang muncul akibat ketidak
sepahaman mereka dalam menafsirkan ajaran-ajaran pokok Syi’ah.
2. Syi’ah
2.1. Pengertian Syi’ah
Secara bahasa, Syi’ah berarti pengikut, golongan, sahabat dan penolong .
Istilah Syi’ah, selanjutnya berkembang dengan arti khusus, yaitu nama bagi
sekelompok orang yang menjadi partisan atau pengikut Ali bin Abi Thalib dan
keturunan-keturunannya.
Untuk merumuskan pengertian Syi’ah secara sempurna memang sangat sulit, karena
Syi’ah telah melalui proses sejarah yang panjang dengan segala peristiwa yang
ikut mempengaruhi ajarannya. Namun al-Syahrastani mendefinisikan Syi’ah sebagai
istilah khusus yang dipakai untuk pendukung atau pengikut Ali Bin Abi Thalib
yang berpendirian bahwa pengangkatan Ali sebagai imam atau khalifah berdasarkan
kepada nash dan wasiat, serta mereka berkeyakinan bahwa keimaman tersebut tidak
terlepas dan terus berlanjut pada keturunan-keturunannya.
2.2. Latar Belakang Munculnya Syi’ah
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi
Muhammad, yakni ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada
pertemuan tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan
tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara
kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam perpecahan Islam. Dalam
pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi. Pada waktu
itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat
penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat
sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu,
merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah
kedua yang kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh
pemberontak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga
Umayah, Ali kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman
Bin Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa
dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah
penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,
dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman.
Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya perang
Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap sebagai
titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi
Thalib) dengan Muawiyah.
Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan
tidak bisanya menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok.
Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah
mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan
aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul
sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai
bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga muncul
satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada
berikutnya terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perekembangnya hadir sebagai
sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri.
Syi’ah memiliki main-stream berupa kecintaan kepada Ali dan Ahlul Bait.
Main-stream itu kemudian berkembang setahap demi setahap, dan pada akhirnya
menjadikan Syi’ah sebagai sebuah mazhab atau aliran yang memiliki ajaran-ajaran
tersendiri dalam bidang politik, teologi, fiqih, dan bidang lainnya.
Teologi
Syi’ah mengandung prinsip ajaran yang dikenal dengan lima rukun, yaitu prinsip
tauhid (Keesaan Tuhan), nubuwwat (kenabian), maad (kebangkitan jiwa dan tubuh
pada hari kiamat), imamah serta prinsip a-‘adl. Imamah merupakan esensi ajaran
Syi’ah. Sehingga kita bisa temukan ajaran-ajaran Syi’ah di bidang politik dan
teologi pada umumnya berkisar pada persoalan imamah dan iman serta hubungan
yang erat antara keduanya.
Dalam perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan
banyak perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam
Syi’ah itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte,
namun mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri
Syi’ah secara menyeluruh.
Ciri
umum Syi’ah sebagai sebuah aliran tersebut adalah :
1. Wishayah
Wishayah dalam doktrin Syi’ah bukanlah pencalonan atau pemilihan namun
“pengangkatan” yang dilakukan oleh Nabi. Mereka meyakini bahwa nabi Muhammad
SAW telah mewasiatkan bahwa yang akan menggantikan beliau adalah Ali bin Abi
Thalib. Peristiwa pengangkatan Ali oleh Nabi berdasarkan pada hadis yang
kemudian terkenal dengan hadist Ghadir Khum, sebuah hadis yang sangat populer
di kalangan Syi’ah dan menjadi dalil bahwa Ali ditunjuk langsung (ta'yin) oleh
Nabi sebagai khalifah sesudahnya untuk memimpin orang-orang mukmin dan
penanggung jawab wahyu (al-Qur'an).
2. Imamah
Imamah merupakan kelanjutan tentang wishayah untuk melanjutkan tugas kenabian
setelah Nabi wafat, maka dibutuhkan seorang Imam. Sesuai dengan prinsip
keadilan Tuhan, Allah wajib menetapkan para imam yang akan bertugas sebagai
pembimbing manusia, seperti halnya seorang Nabi. Imamah bukanlah suatu
kemaslahatan umum yang diserahkan kepada seluruh umat Islam tentang siapa yang
pantas untuk menjadi khalifah namun imamah menurut kaum Syi’ah adalah salah
satu di antara rukun agama, yang tidak mungkin dilengahkan oleh Nabi.
Bagi kaum Syi’ah, imam memegang kendali dalam urusan-urusan agama, dan juga
kekuasaan-kekuasaan tentang masalah keduniaan dalam negara Islam. Hal ini
dimaksudkan agar di tangan imam itu terkumpul dua kekuasaan yaitu kekuasaan
agama dan juga duniawi. Senada dengan pendapat di atas, Cyril Glasse,
menyatakan bahwa kalangan Syi’ah meyakini Ali mempunyai fungsi spiritual yang
istimewa, di samping fungsi spiritual yang terdapat pada Nabi, memiliki hak
absolut atas kepemimpinan spiritual yang dikenal dengan karomah. Fungsi ini
seterusnya berlangsung melalui penunjukan kepada keturunannya. Menurut Syi’ah,
imam itu ada yang zahir dan ada yang tersembunyi (mustatir), imam yang tersembunyi
itu senantiasa ditunggu (al – Muntazar) kehadirannya, karena mereka dipandang
mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi manusia.
3. Ismah
Seorang imam itu harus Ismah, yaitu terpelihara dari segala dosa (ma’sum).
Ismah adalah terpeliharanya imam dari perbuatan dosa dan perbuatan jahat
disebabkan oleh lutfh dari Allah, meskipun ia mampu melakukan. Hal ini terkait
dengan fungsinya sebagai pengendali (quthb) manusia, setelah Nabi Muhammad SAW.
Wafat.
4. Raj’ah
Raj’ah
artinya “kembali” yaitu para imam Syi’ah yang tersembunyi akan kembali di akhir
zaman. Imam itulah yang disebut sebagai imam Mahdi yang berarti pemberi
petunjuk. Ajaran ini terkait dengan paham bahwa imam ke 7 atau ke 12 sedang
bersembunyi dan akan kembali (raj’ah) di akhir zaman nanti.
5. Taqiyah
Yaitu menyembunyikan keyakinan sebenarnya dengan mengatakan keyakinan yang
sesuai dengan keyakinan resmi yang ada pada saat itu, demi menyelamatkan diri,
namun pada saat yang sama, taqiyah juga bermakna melanjutkan perjuangan secara
diam-diam melawan segala bentuk penyimpangan guna penegakan agama . Ajaran ini
muncul karena kondisi mereka yang selalu dikejar-kejar oleh penguasa dan
dianggap sebagai aliran terlarang oleh karena itu mereka harus membentengi diri
dengan ajaran al-taqiyyah, untuk menyelamatkan keyakinan, dengan menyembunyikan
keSyi’ahan mereka.
Selanjutnya, ajaran mereka dalam praktik ibadah sedikit berbeda dengan Sunni,
seperti penambahan satu baris pada kalimat azan, yaitu “Ali Waliyullah”. Untuk
penyelenggaraan ibadah haji mereka menggunakan bis-bis terbuka (tanpa atap).
Mereka menghalalkan daging sembelihan oleh nonmuslim. Sejumlah pebedaan lainnya
yang lebih penting adalah bahwasanya Syi’ah membolehkan perkawinan sementara
(Mut’ah). Syi’ah juga mempunyai ajaran “putaran kesucian”, yakni rangkaian
orang-orang suci yang dimulai sejak Ali dan berlangsung sampai hari kiamat.
Demikian beberapa praktik peribadatan Syi’ah yang berbeda dengan Sunni.
3. Syi’ah Imamiyah
3.1. Asal Usul Syi’ah Imamiyah
Syi’ah Imamiyah, dinamakan demikian karena kepercayaan mereka yang kuat tentang
imam. Golongan ini berpendapat bahwa keimaman (imamah) harus berada di tangan
keturunan Fatimah, dan keimaman itu dinisbahkan kepada Allah, yang memerintahkan
Nabi-Nya untuk memberitahukan hal tersebut kepada umat. Dalam hal ini, Rasul
sudah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam bagi kaum muslimin dan akan
berlanjut kepada keturunannya (dari ayah kepada anaknya), berdasarkan wasiat
yang dibuat oleh imam sebelum mangkat kepada salah satu di antara
putra-putranya. Bagi Syi’ah Imamiyah keimaman merupakan salah satu rukun
diantara rukun-rukun agama.
3.2. Pandangan tentang Imamah dan Ajaran lainnya
Adapun
prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh Syi’ah Imamiyah adalah :
a. Wishayah
Menurut Syi’ah Imamiah, Ali telah ditunjuk sebagai imam atau pemimpin
masyarakat oleh Nabi Muhammad SAW. Penunjukan tersebut menurut mereka terjadi
di Ghadir Khum. Mereka juga menyebutkan penunjukan Ali merupakan salah satu
kesempurnaan agama seperti diisyaratkan oleh Rasullullah dalam hadisnya :
الله اكبر على تمام الدين, و رضا الرب
برسالتي, و بالولاية لعلي من بعدى
“Allah Maha Besar atas kesempurnaan agama dan Tuhan rela
dengan risalahku dan pemerintahan Ali setelahku”
b. Imamah
Mereka meyakini bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah imam yang sudah
ditunjuk dan namanya mereka kenali. Para Imam terpilih ini menjalankan fungsi
spiritual dan politik yang tinggi dan memiliki berkah yang khusus, kemampuan
yang luar biasa (mu’jizat), dan pengetahuan rahasia (alim bi al-gahib) yang
tidak dimiliki manusia pada umumnya. Masih menurut mereka, jabatan keimaman
haruslah dipegang oleh keturunan Fatimah. Syi’ah Imamiyah mempercayai adanya 12
imam, yaitu :
1.
Ali bin Abi Thalib (Q. 40 H)
2.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib (W. 50 H)
3.
Husain bin Ali bin Abi Thalib (W. 61 H)
4.
Ali Zainul Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (W. 94 h)
5.
Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin (W. 112 H)
6.
Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir (W. 148 H)
7.
Musa al-Kazhim (183 H)
8.
Ali ar-Ridha Bin Musa al Kazhim (W. 202 H)
9.
Muhammad Al-Jawwad bin Ali al-Ridha (W. 202 H)
10.
Ali bin Muhammad bin al-Ridha (W 254 H)
11.
Hasan bin Ali bin Muhammad al Kasri (260 H)
12.
Muhammad bin Hasan Al-Mahdi al-Muntazhar, yang bersembunyi pada tahun 260 H,
dan suatu saat akan menampakkan dirinya di bumi sebagai imam Mahdi.
Syi’ah Imamiyah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman, karena
menganggap ketiga khalifah ini telah berbuat curang kepada Ali bin Abi Thalib
dengan menyisihkan hak Ali menjadi khalifah setelah Rasul wafat. Abu Bakar dan
Umar dicap sebagai orang yang telah mengesampingkan al-Quran dan hadis, yang
menurut interprestasi mereka telah menunjuk Ali sebagai khalifah.
c. Ishmah
Mereka mengatakan bahwa imam seperti halnya Nabi adalah ma’shum. Semua imam
yang dua belas ini suci dari kesalahan, kealfaan dan juga dari dosa besar dan
dosa kecil.
d. Raj’ah
Mereka meyakini al-raj’ah yaitu kembalinya imam ke tengah masyarakat setelah
lewat masa gaib atau masa bersembunyi dari pandangan pengikutnya. Dalam
keyakinan Syi’ah Imamiyah, imam al-Hasan al Askari meninggalkan seorang putra
yang berusia sekitar 4 atau 6 tahun, yang bergelar Imam Mahdi. Riwayat lain
menyatakan bahwa al-mahdi telah lahir sebelum ayahnya wafat, dan dinobatkan
oleh ayahnya sebagai imam ke-12, dan dalam usia yang sangat belia, ia lari dan
bersembunyi dalam lubang (Sardab) di rumah ayahnya di Irak. Persembunyian
(ghaib) ini menurut pengikutnya berlangsung selama 65 tahun. Dalam masa ini,
seorang Syi’ah dapat berhubungan dengan imamnya melalui empat orang wakil khas,
yang selama masa ini disebut dengan ghaib kecil (al-ghaibah al-shugra’)
Setelah meninggalnya empat orang wakil ini, maka dimulailah gaib besar
(al-ghaib al-kubra), karena hubungan dengan imam terputus sama sekali dan imam
baru akan menampakkan diri lagi saat kiamat sudah semakin dekat. Pada masa ini
kepemimpinan Syi’ah dipegang dan dikendalkan oleh wilayah al-Fakih, yaitu para
ulama shalih yang dipercaya oleh masyarakat Syi’ah.
e. Taqiyah
Taqiyah yaitu menyembunyikan identitas aqidah sebagai penjagaan diri dari
musuh. Taqiyah ini menurut mereka (Imamiyah) merupakan salah satu prinsip utama
agama yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan mereka memandang wajib melakukan
taqiyah, karena seseorang yang tidak melakukan taqiyah jika meninggal, maka
kematiannya tidak akan berfaidah.
4. SYI’AH ZAIDIYAH
Sudah merupakan suatu konsekuensi logis pada setiap terjadinya perbedaan dan
pertentangan suatu persoalan akan memunculkan terjadinya perpecahan. Pebedaan
yang terjadi tentang persoalan Imamah. Siapa yang berhak menduduki jabatan
tersebut telah mengantarkan syi’ah kepada perpecahan. Disamping itu adalah
perbedaan pendapat tentang penetapan ajaran pokok beberapa sektet diantaraya:
1.
Syi’ah Zaidiyah
2.
Syi’ah Imamiah
3.
Syi’ah Shaba’iah
4.
Syi’ah Ghulat
5.
Syi’ah Islamiyah.
1. Asal Usul
Zaidiyah adalah istilah yang dinisbahkan kepada Zaid ibnu Ali ibn al-Husein ibn
Ali ibn Abi Thalib. Zaid bin Ali Zainul Abidin adalah seorang yang bertaqwa,
alim, berani dan disegani masyarakat. Ia belajar ilmu agama dan hadis-hadis
Rasulullah Saw kepada saudaranya, Muhammad al-Baqir. Ia juga pernah belajar
kepada Wasil bin Atha, tokoh Mu’tazilah, sehingga ia banyak terpengaruh dengan
pikiran-pikiran Mu’tazilah yang akhirnya masuk ke dalam ajaran-ajaran Zaidiyah.
Sekte ini memiliki pemikiran yang dianggap lebih moderat dan demokratis
dibanding Syi’ah lainnya.
Setelah Ali Zainul Abidin bin Husain (imam ke-4) wafat, terjadi perselisihan
dalam tubuh Syi’ah tentang siapa yang berhak menjadi imam ke-5. menyikapi
perselisihan tersebut, lalu muncullah dua sikap yang membuat Syi’ah Imamiyah
terpecah kepada dua cabang. Cabang pertama berpendapat bahwa yang dipilih
menjadi Imam setelah Ali Zainul Abidin bin Husain adalah Zaid bin Ali Zainul
Abidin, golongan inilah yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah.
Cabang kedua adalah mereka yang berpandangan bahwa yang berhak menjadi imam
ke-5 adalah Abu Bakar Muhammad al-Baqir.
Adapun imam-imam bagi Syi’ah Zaidiyah adalah Ali bin Abi Thalib (w. 40H), Hasan
bin Ali bin Abi Thalib (W. 50H), Husain bin Ali bin Abi Thalib (w. 61H), Ali Zainul
Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (w. 94 H), Zaid bin Ali Zainul Abidin,
dan dilanjutkan oleh Yahya, dan imam-iman yang mengikutinya.
Syi'ah Zaidiah merupakan salah satu dari beberapa sekte Syia’ah dan terkenal
paling moderat dan dekat dengan mazhab sunni. Karena dalam masalah
kekhalifahan, mereka mengakui Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a. dan tidak
mengimani dogma 'nash' dan 'washiat' itu. Selain itu mereka juga mengambil
mazhab Hambali untuk masalah fikih mereka.Bahkan jabatan imam Zaidiah, pada
suatu waktu, dipegang oleh orang semacam Qasim ar Rassi, yang merupakan seorang
keturunan Hasan. Sementara Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali, imam
pertama Zaidiah dan juga pendiri sekte ini adalah keturunan Husain. Artinya,
dalam masalah ini mereka boleh dikatakan amat moderat. Bagi mereka, keimamahan
(pemimpin negara) tidak ditentukan oleh nash atau warisan, namun oleh adanya
bai'at manusia. Dengan begitu, mereka berbeda jauh dengan Itsna Asyariah. Sekte
ini juga telah mampu mendirikan negara dengan pimpinan imam. Atau bisa
dinamakan dengan negara Zaidiah. Pertama di wilayah Dailam, arah selatan lautan
Khazar pada tahun 250 H, oleh Hasan bin Zaid. Yang kedua adalah di Yaman,
didirikan oleh al Hadi ilal Haqq Yahya bin Husein. Negara yang kedua ini
berumur panjang, dan baru berakhir pada tahun 1962 M, dengan digantikan oleh
negara Republik Yaman dan kini banyak kabar bahwa pengikut sekte ini berpindah
ke manhaj Salafy.
2. Pandangan tentang Imamah dan Ajaran lainnya
Syi’ah Zaidiyah, memiliki pandangan tersendiri tentang imamah dan ajaran
lainnya. Pandangan-pandangan yang dipegang oleh Zaidiyah banyak berbeda dengan
paham-paham sekte Syi’ah lainnya :
a. Wishayah
Menurut mereka imamah itu tidak melaui nash dan wasiat dari imam yang mangkat
kepada imam yang datang sesudahnya (bukan jabatan warisan). Hal ini, karena
mereka menilai bahwa nabi Muhammad tidak menunjuk Ali dengan menyebut namanya,
tetapi hanya dengan mendeskripsikannya. Dan Ali lah orang yang tepat dengan
deskripsi tersebut, karena itulah mereka mengatakan Ali lebih berhak menjadi
khalifah daripada sahabat yang lain. Mereka membolehkan adanya yang mafdhul di
samping adanya imam yang afdhal, yaitu Ali. Berdasarkan konsep ini, mereka
memandang Abu Bakar, Umar bin khatab, dan Usman bin Affan adalah sah sebagai
khalifah, yang memenuhi syarat menjadi imam sepeninggal Nabi. sekalipun Ali
lebih utama (Afdhal) menurut mereka.
b. Imamah
Dalam pandangan Syi’ah Zaidiyah, imamah tidak cukup hanya dari keturunan
fatimah saja, tetapi harus melalui dua jalan. Yang pertama, imam harus
memunculkan dan memproklamirkan dirinya, kedua ini harus mendapat al-bai’at (persetujuan)
dari ahl al-hal wa al-aqd.
Pandangan
moderat lainnya tentang imamah adalah bahwa imam itu tidak boleh kanak-kanak,
dan tidak pula bersikap ghaib. Ia harus mempunyai kemampuan dalam memimpin
perang suci, mempertahankan masyarakat, dan seorang mujtahid. Bagi Zaidiyah,
imam mungkin saja lebih dari satu pada satu waktu, namun pada tempat yang
berbeda. Ketaatan kepada imam hanya dalam kebaikan dan ketetapan pada
Allah.
c. Ismah (Ma’sum)
Zaidiyah menolak prinsip tentang kesucian imam dari dosa yang besar dan dosa
kecil, bagi mereka imam itu hanya orang biasa yang mungkin melakukan kesalahan.
Namun sebagian kaum zaidiyah ada yang mensucikan empat orang dari keluarga
ahlul bait, yaitu Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain.
d. Raj’ah (kehadiran Imam)
Syi’ah zaidiyah menolak ketidakahadiran Imam, karena ahlul hal wa al-aqd hanya
dapat memilih imam kalau seandainya calon imam itu ada di tengah mereka, atau
menurut mereka kehadiran imam merupakan syarat utama. Oleh karena itu Zaidiyah
tidak mengakui tentang keberadaan imam Mahdi yang akan keluar di akhir zaman
nanti.
e. Iman dengan Qada dan Qadar
Mereka mempercayai qada dan qadar, namun manusia juga mempunyai kebebasan dan
pilihan untuk taat atau durhaka kepada Allah.
Seperti
diungkapkan sebelumnya bahwa Zaidiyah adalah kelompok yang moderat dalam tubuh
Syi’ah. Mereka sangat terpengaruh dengan filsafat Mu’tazilah, terutama
pemikiran Wasil bin ‘Atha yang terlihat jelas pada penempatan rasio pada tempat
yang tinggi dan memberi peran penting pada rasio untuk memperoleh dalil.
Pengaruh Mu’tazilah terlihat pada keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat dan al-Qur’an itu makhluk serta mereka tidak menerima taqdir dengan
begitu saja. Dalam pelaksanaan hukum Islam, Zaidiyah tidak membenarkan perkawinan
campuran dan tidak memakan sembelihan orang yang bukan Islam, serta tidak mau
shalat di belakang orang yang tidak diketahui kesalehannya.
Seperti halnya perpecahan yang umum terjadi dalam tubuh Syi’ah, demikian juga
yang terjadi dengan Syi’ah Zaidiyah, yang terpecah ke berbagai kelompok.
Al-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal menyebutkan tiga, yaitu :
Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Butriyah. Sementara Abu al-Hasan Isma’il al-As’ari
dalam bukunya Maqalat al-Islamiyah wa l-ikhtilaf al-Mushallin menyebutkan lima,
yaitu : Jarudiyah, Sulaimaniyah, Butriyah, Naimiyah, dan Yaqubiyah.
5. Syi’ah Ghulat
5.1. Asal Usul
Selain dari golongan di atas, di dalam tubuh Syi’ah juga terdapat
golongan-golongan ekstrim dan dianggap telah keluar dari jalur Islam, yang
dalam bentuk ajarannya sering dikaitkan dengan Abdullah bin Saba’. Golongan
ekstrim inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah Ghulat (berasal dari kata
ghuluw yang berarti berlebih-lebihan). Sebagian dari golongan ini ada yang
menempatkan Ali dan imam-imam Syi’ah lainnya pada derajat ketuhanan, dan ada
yang mengangkatnya pada derajat kenabian, bahkan lebih tingi dari Muhammad. .
Banyak
sekte yang dipandang memiliki sikap ekstrim dalam aliran Syi’ah, yang bila
ditinjau dari sikap dan ajaran-ajarannya cenderung dikatakan menyesatkan. Sekte
ini disebut dengan Ghulat, yaitu golongan ekstrim di kalangan Syi’ah yang
terlalu berlebih-lebihan dalam menentukan hak imam. Untuk menentukan ekstrim
tidaknya sebuah sekte didalam tubuh Syi’ah, dapat mempergunakan empat ajaran
yang dianggap sebagai standar, yaitu :
5.2. Ajaran-Ajaran Dasar Syi’ah Ghulat
a. Hulul
Yaitu keyakinan bahwa Allah mengambil bentuk di dalam orang-orang tertentu,
seperti Ali. Atas dasar paham itu kemudian mereka meyakini bahwa Ali harus
disembah.
b. Tanasukh
Tanasukh adalah keyakinan yang mengatakan bahwa roh Nabi atau para imam
mengambil tempat pada diri orang-orang tertentu.
c. Tasybih
Tasybih adalah menyamakan Tuhan dengan makhluk secara fisik seperti mempunyai
anggota tubuh (jasmani)
d. Al-Bada’
Al-Bada’ yaitu merubah apa saja yang dikehendakinya sesuai dengan yang terjadi
pada ilmunya. Paham ini dianggap menggambarkan kelemahan Tuhan, sehingga ilmu
dan ciptaannya selalu mengalami perubahan.
Berdasarkan
empat standar ini, Syahrastani menetapkan ada 11 sub sekte Syi’ah Ghulat, yaitu
Saba’iyah, Kamaliyah, Ghalbaiyah, Mughiriah, Mansyuriah, Khatthobiyah,
Kayyaliyah, Hisyamiyah, Nu’maniyah, Yunisiyah, Nushairiyah dan Ishaqiyah.
Di samping kelompok di atas, ada juga yang dinilai ekstrim dalam perbuatan,
seperti kelompok Qaramithah, Ghuraibiyyah, Druze, Matawilah dan Nuzairiyyah.
Tindakan mereka seperti membunuh perdana menteri Nizam al-Mulk, dan mencuri
Hajar Aswad. Namun pada intinya, semua Syi’ah Ghulat dengan ajaran-ajaranmya
sangat bertentangan dengan prinsip akidah dalam Islam, yang dalam sejarahnya
merusak citra dan kemurnian ajaran Islam.
Kesimpulan
Dalam perjalanannya, Syi’ah sebagai sebuah aliran, banyak dimasuki oleh
paham-paham yang berasal dari luar Islam, yang sangat bertentangan dengan
ajaran Islam itu sendiri. Syi’ah terkadang dimasuki oleh orang-orang yang ingin
menghancurkan Islam dari dalam, seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibn Saba’.
Faham Syi’ah juga dimasuki oleh paham-paham Yahudi, Nasrani, dan Hindu,
sehingga mucul dalam ajaran Syi’ah paham-paham, seperti Imam yang digambarkan
sebagai setengah Tuhan dan setengah manusia, paham tanasukh (reinkarnasi),
penjisiman Tuhan, serta bertempatnya ruh Tuhan pada diri manusia, dll.
Sesungguhnya mereka yang memiliki keyakinan seperti ini dalam tubuh Syi’ah
bukanlah Syi’ah (pengikut Ali dan ahlul bait) yang sebenarnya.
Dengan mengkaji Syi’ah dan ajarannya secara lebih mendalam diharapkan dapat
dilihat garis pemisah antara yang benar-benar Syi’ah dan yang hanya mengaku
sebagai Syi’ah. Karena dalam panggung sejarah, Syi’ah sering dibicarakan dalam
konotasi yang kurang baik perihal ajaran-ajarannya. Namun sesungguhnya, citra
dan kesucian Syi’ah tidak patut dipandang rusak dan keluar dari jalur Islam
secara keseluruhan, karena masih ada sebagian dari mereka yang dalam ajaran,
pemikiran dan tindakannya dianggap moderat dan toleran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar